Pembelajaran P5, mengajarkan peserta didik untuk bernalar kritis. Apakah gurunya juga kritis?
Pada pembelajaran P5, yang merupakan singkatan dari Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Sebagaimana termuat di kurikulum merdeka, yakni kurikulum yang berlaku saat ini. Profil pelajar pancasila itu sendiri, di dalamnya tercantum enam (6) dimensi, salah satunya ialah dimensi bernalar kritis. Terkait bernalar kritis, seringkali guru mengajarkan kepada peserta didik supaya bisa berpikir kritis. Â Pertanyaannya, apakah gurunya juga kritis? Sebagai guru sudah selayaknya mengajak peserta didik untuk berpikir kritis. Tapi bukan berarti, hanya peserta didiknya saja yang kritis. Gurunya harus jauh lebih kritis. Â Tidak boleh menganggap remeh peserta didik. Apalagi, hingga memandang peserta didik sebagai makhluk yang pengetahuannya lebih rendah dari guru. Hal itu tidaklah benar. Â Karena di zaman yang modern ini, informasi bisa dengan mudah didapat. Baik dari podcast, radio, video, sosial media dan lainnya. Terlebih, hadirnya gadget membuat seseorang bisa dengan mudah mencari tahu apapun yang dibutuhkan. Tidak hanya itu, alat komunikasi lain, selain gadget juga berpengaruh untuk memudahkan seseorang dalam mencari informasi. Jangkauan yang luas, dapat diakses dengan mudah. Maka dari itulah, sebagai guru lazimnya memiliki tingkat keberpikiran yang tinggi. Untuk mengantisipasi, apabila ada pertanyaan-pertanyaan kritis yang diungkapkan oleh peserta didik, maka guru dapat menjawab pertanyaan tersebut. Karena tidak bisa dipungkiri. Jika menemui peserta didik yang kritis pemikirannya, maka pertanyaannya pun membutuhkan penalaran yang dalam. Pertanyaan kritis dari peserta didik itulah, yang memacu keberpikiran tingkat tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu bagi guru untuk membekali diri dengan berbagai wawasan dan pengetahuan, agar tidak terkesan jarkoni (ngajari tapi ora biso nglakoni). Tidak hanya menggembor-gemborkan sebuah narasi tentang pendidikan yakni "berpikir kritis", namun juga perlu membekali diri dengan ilmu yang mumpuni. Tersebab, untuk mengetahui segala sesuatu itu dibutuhkan adanya usaha. Dan salah satu usaha yang perlu dilakukan adalah membekali diri dengan ilmu. Singkatnya, supaya bisa menjadi sesorang yang kritis. Â Penting bagi guru untuk menyelipkan sebuah kata tanya yang disebut dengan "why". Melalui kata tanya Why yang memiliki arti mengapa, inilah yang memantik keberpikiran seseorang untuk tertarik mengetahui lebih lanjut terkait segala sesuatu. Selain daripada itu, kata tanya "why" itu sendiri juga berfungsi untuk melatih otak supaya bisa berpikir kritis. Tersebab melalui kata tanya "why", mengajarkan seseorang untuk lebih jernih dalam mencerna sesuatu hal. Tidak langsung menerima informasi secara mentah-mentah, tanpa memahaminya dengan detail. Karena jika hanya menerima informasi begitu saja, tanpa dipahami/diteliti lebih dulu, maka jatuhnya akan salah penafsiran. Why/mengapa? Kata tanya itulah yang memancing diri untuk mencari tahu alasan tentang bagaimana hal ihwal dari segala sesuatu. Rasa ingin tahu itulah, yang kemudian mengajarkan diri sendiri untuk lebih giat lagi dalam menggali ilmu supaya bisa menemukan jawaban dari segala tanya yang bersliweran. Pada intinya, kata tanya why/mengapa, perlu untuk diikutsertakan dalam pikiran. Adapun hal lain, yang mengikuti setelah kata tanya "why" muncul di kepala, maka itu akan menjadi keberlanjutan yang saling berkesinambungan. Hal itu, menjadikan bertambahnya wawasan dan juga pengetahuan. Kata tanya "why" ini, juga perlu diajarkan kepada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kedepannya, saling terjalin keterikatan pikiran yang kritis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H