Merasa ingin tahu, akan tetapi tidak mau tahu. Apakah rancu?
Oleh : Hazuma Najihah
 Rasa ingin tahu atau bahasa bekennya disebut dengan kepo, ialah rasa yang memantik cara berfikir seseorang terhadap sesuatu hal. Curioisity atau rasa ingin tahu ini dimaknai bahwa seseorang tersebut, mempunyai rasa ingin mengetahui terhadap objek yang akan diamati. Berbicara tentang rasa ingin tahu, itu artinya identik dengan rasa penasaran. Diartikan bahwa seseorang yang memiliki rasa ingin tahu, otomatis mempunyai rasa penasaran terhadap sesuatu. Dalam hal ini, saya contohkan terkait rasa ingin tahu terhadap dunia kepenulisan.
Sebagai contoh : ada seseorang yang memiliki rasa ingin tahu terhadap dunia kepenulisan. Maka ia akan mencari tahu bagaimana seluk beluk, tata cara, aturan, dan sebagainya terkait dunia tulis menulis. Bahkan tak kurang-kurang, terkadang mencari tahu secara langsung melalui penulisnya. Lewat wawancara, observasi atau bahkan diskusi, maka ia akan memahami beberapa hal yang selama ini menjadi pertanyaan yang menyelami isi kepala. Berbagai pertanyaan itu telah menemukan jawabannya, manakala sudah dipertemukan dengan sesuatu yang dianggap berhubungan dengan hal tersebut. Â Tidak sedikit orang yang memantik cara berfikirnya untuk mengetahui lebih lanjut tentang apa dan bagaimana seluk beluk dari dunia kepenulisan. Rasa ingin tahu yang berlebih, membuatnya ingin menyelami lebih dalam tentang dunia kepenulisan. Setelah mengantongi beberapa informasi, pada akhirnya pun merasa tergerak untuk mengikuti jejak dari penulis tersebut.Â
Namun terkadang, ada hal yang di abaikan. Rasa ingin tahu itu, hanya sekedar rasa ingin tahu saja tanpa dibubuhi usaha atau perjuangan supaya bisa mencapai pada titik yang di inginkan. Kebanyakan yang terjadi adalah setelah rasa ingin tahu sudah terjawab, maka muncullah rasa keinginan atau keniatan untuk mencapai tahap tersebut. Akan tetapi, hal itu tidak disertai dengan usaha yang bersungguh-sungguh. Dalam benaknya, sudah melekat rasa ingin tahu terkait dunia kepenulisan. Kemudian merambah keinginan untuk menjadi seorang penulis. Berlanjut dengan menggali lebih dalam melalui pemangku kepentingan yang bersangkutan (penulis).Â
Namun pada akhirnya berhenti seketika, tanpa adanya usaha untuk menerapkan wawasan yang sudah didapatkan. Hal itulah yang mengakibatkan timbulnya kesulitan hingga  menghambat pencapaian tujuan. Ironisnya, ingin menjadi seorang penulis, namun enggan untuk melakukan aktivitas membaca. Meski dalam hati kecilnya, sudah tertanam keniatan untuk menjadi penulis. Namun pada kenyataannya, tidak ada tindakan yang mengarah kepada penerapan secara realnya supaya bisa menjadi penulis. Tentu sangat membingungkan sekali.  Ingin menjadi penulis, akan tetapi tidak suka membaca. Lantas, bagaimana ilmu akan didapatkan? Apakah cukup, hanya dengan melakukan wawancara atau pengamatan terhadap penulisnya saja? Tentu jawabannya tidak.Â
Wawancara dan pengamatan akan lebih valid, dan bisa dipertanggungjawabkan apabila didukung dengan riset yang mendalam. Dalam hal ini, dibutuhkan adanya ilmu yang diserap melalui kegiatan membaca, baik itu membaca dalam bentuk fisik (cetak) seperti buku, koran, majalah, dan sebagainya. Atau non fisik (buku digital, e book). Semua itu, bisa dijadikan sebagai acuan dalam menjalani proses untuk menuliskan sesuatu hal atau lebih tepatnya untuk mengaplikasikan diri menjadi seorang penulis. Karena supaya bisa menjadi seorang penulis, tidak serta merta meluncur begitu saja. Tentu, banyak hal yang harus diusahakan, dipertimbangkan, difikirkan, Â dianalisa, dikaji, hingga kemudian bisa diaplikasikan. Mirisnya, terkadang seringkali keliru memaknai hal ini.Â
Rasa ingin tahu yang berlebih ( tentang dunia kepenulisan), akan tetapi tidak suka bahkan tidak mau membaca (tidak mau tahu), pokoknya yang penting sudah tahu (entah itu lewat wawancara dengan penulis atau hanya sebatas pengamatan saja), itu adalah hal yang perlu diluruskan. Karena untuk menjadi seorang penulis, tidak asal-asalan terjun begitu saja. Semua itu tidaklah instan. Tak semudah yang dibayangkan. Seorang penulis, tidak lepas dari proses belajar yang membuatnya terus memperbaiki karya tulisnya agar bisa menjadi penulis yang profesional. Memperhatikan beberapa hal yang menjadi point penting dalam dunia kepenulisan.Â
Baik itu dari segi kaidah bahasa, PUEBI, makna kata, penyusunan kata, tanda baca, dan lain sebagainya. Tak terkecuali juga, untuk meminimalisir gap pemahaman maka sebaiknya disarankan supaya lebih banyak menggali informasi dari berbagai sumber, entah itu dari kegiatan membaca, kegiatan mendengarkan (radio,podcast), kegiatan melihat dan mendengarkan (televisi) dan lain sebagainya. Hal itu untuk menambah bekal ilmu/wawasan/pengetahuan, dalam memperkaya kosakata atau perbendaharaan kata. Karena semakin banyak informasi yang diperoleh, maka semakin baik kualitas dari isi tulisan tersebut. Tak lupa, tetap memperhatikan dengan seksama dan melakukan proses editing, untuk menghindari salah penafsiran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H