Sebuah daerah yang dipisahkan oleh Sungai Batanghari, dan terletak berseberangan dengan ibukota Provinsi Jambi. Itulah mengapa ia dikenal dengan sebutan "Seberang Kota Jambi (Sekoja) ". Terletak berseberangan, namun tampak jelas perbedaan antara keduanya, yang satu gemerlap dengan gedung-gedung pencakar langitnya, sedangkan yang satu lagi redup dengan rumah-rumah panggung  yang usianya berpuluh-puluh tahun.Â
Sebenarnya Seberang Kota Jambi dahulu merupakan pusat peradaban yang ramai dikunjungi para pendatang, tetapi sejalan dengan waktu, pusat peradaban tersebut bergeser dan akhirnya melupakan daerah tersebut. Seberang Kota Jambi yang berada tepat ditepi Sungai Batanghari, dahulunya dipenuhi dengan pelabuhan-pelabuhan dagang yang ramai.Â
Menurut Dedi Arman, sejarawan yang juga mengulas mengenai  sejarah  perdagangan lada di Jambi, beliau menuliskan bahwa "Jambi pernah mengalami masa kejayaan dalam perdagangan lada pada abad XVI hingga XVIII meski di akhir abad XVII mulai mengalami penurunan. Pelabuhan Jambi pernah menjadi pelabuhan ekspor kedua terbesar setelah Aceh".
Bahkan  pada masa itu, kesultanan Jambi mulai menjalin kerjasama dengan bangsa lain Kondisi inilah yang menarik para pedagang sekaligus ulama datang ke Jambi, diantaranya Al-Habib Husein bin Ahmad Baragbah dari Yaman. Sebelum kedatangan beliau, para pedagang asal Cina yang dipelopori oleh Shin Thay sudah lebih awal menjalin kerjasama dengan Kesultanan Jambi.Â
Pada masa itu etnis Cina dominan memegang peranan penting dalam perdagangan  lada di Jambi dikarenakan sifat mereka yang lebih mudah membaur dengan etnis melayu sebagai tuan rumah. Sedangkan etnis Arab mengambil peranan penting dalam membina keagamaan dan menata sistem pemerintahan yang adil dan amanah bagi masyarakat setempat.
Para pendatang tersebut mulai membaur. Membawa kebudayaan, adat-istiadat, bahkan etnis mereka ke Seberang Kota Jambi, sehingga tumbuh suburlah keberagaman itu di tanah Jambi. Budaya Cinadiwarisi masyarakat setempat lewat tradisi bertani.Â
Pada masa lalu, banyak petani Cinadatang untuk mengolah tanah milik orang Melayu. pengunaan tengkuluk yang biasanya digunakan oleh perempuan petani diyakini sebagai warisan petani dari dataran Cinayang saat ini menjadi ciri khas pakaian adat perempuan Jambi. Sementara pengaruh Arab yang kuat menjadikan kawasan itu tumbuh sebagai Kota Santri.Â
Selama masa itu, anak keturunan mereka dididik agama secara kuat melalui instansi-instansi pendidikan berbasis keislaman. Hal ini tampak dengan adanya pesantren-pesantren tertua yang masih tetap terjaga sampai sekarang. Â
Saat ini akulturasi tersebut tampak pada konstruksi bangunan  yaitu dalam bentuk rumah panggung yang merupakan penggabungan tiga unsur yaitu Arab, Cina, dan Melayu.
Selain itu Seberang Kota Jambi dahulu merupakan perkampungan besar yang dibangun oleh Shin Thay, dan secara administratif kemudian berpecah lagi menjadi beberapa kampung  kecil yang dimulai dari , Olak Kemang, Ulu Gedong, Kampung Tengah, Jelmu, Mudung Laut, dan Arab Melayu.
Kerukunan tiga etnis ini yang sekarang melekat di kehidupan masyarakat Seberang Kota Jambi, menciptakan kesatuan dengan mengenyampingkan perbedaan tanpa melupakan jati diri masing-masing.Â