Mohon tunggu...
Hazkiel Samuel Silitonga
Hazkiel Samuel Silitonga Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa SMA Kanisius Jakarta

Siswa SMA Kanisius Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Merajut Inklusif dengan Safeguarding

10 Desember 2024   12:42 Diperbarui: 10 Desember 2024   13:37 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Kalau ada yang macem-macem sama anak-anak, bisa-bisa langsung terjerat Komnas HAM terus berjumpa dengan Kak Seto hari esoknya!" Ucapan tersebut menjadi awang-awang yang menghantui kegelisahan banyak orang, khususnya dalam lingkup interaksi dengan anak-anak. 

Orang tua menjadi garda terdepan yang melindungi anaknya dari segala bahaya yang mengancam. Saat seorang anak terlibat dalam suatu kasus, maka orang tua juga pasti memiliki campur tangan dalam membantu penyelesaian permasalahan. Dalam kondisi tertentu, mereka tidak segan untuk membawa suatu kejadian atau konflik yang sedang dialami hingga ke konteks pihak berwenang, bahkan ranah hukum atau pengadilan. 


Tanpa mediasi ataupun komunikasi antar kedua pihak, terkadang orang tua serba menuntut orang yang bersangkutan tanpa melihat akar masalah secara menyeluruh. Apakah sebenarnya perlindungan yang diberikan orang tua hanya dipakai untuk menjadi senjata makan tuan pihak yang dianggap merugikan ananda?

Safeguarding di Kolese Kanisius memiliki pendekatan yang lebih holistik dibandingkan dengan kebanyakan sekolah lainnya. Banyak sekolah hanya berfokus pada aspek fisik dan psikologis siswa, seperti mencegah kekerasan atau pelecehan. Namun, di Kolese Kanisius, safeguarding dipandang sebagai tanggung jawab kolektif yang melibatkan semua pihak, mulai dari guru, orang tua, hingga siswa itu sendiri. Pendekatan ini sangat berbeda dengan pendekatan yang lebih tradisional, yang terkadang hanya berfokus pada intervensi setelah masalah terjadi. Di Kolese Kanisius, fokusnya adalah pada pencegahan, menciptakan kesadaran, dan membangun budaya saling menjaga di antara semua anggota komunitas sekolah.

Pada seminar yang diadakan di Kolese Kanisius, tema yang diangkat adalah "Makna Seutuhnya dari Safeguarding". Seminar ini berlokasi di Sporthall Kolese Kanisius Jakarta pada Senin, 09 Desember 2024 pada pukul 08.00-14.00 WIB. Narasumber dari seminar ini adalah Ibu Anna Subekti S.Pd dan Ibu Maria Inggrit S.Pd. Tujuan dari seminar ini adalah untuk menggali lebih dalam konsep safeguarding, yang dalam konteks ini merujuk pada perlindungan terhadap hak dan keselamatan semua individu, terutama anak-anak dan remaja, di lingkungan pendidikan. Acara tersebut dihadiri oleh para guru, staf, serta seluruh siswa Kolese Kanisius secara bertahap dari Kelas 7 hingga Kelas 12, yang masih belum memahami secara keseluruhan pentingnya menciptakan lingkungan yang aman, terbuka, dan mendukung bagi perkembangan peserta didik.

Misalnya, di dalam seminar ini Ibu Anna Subekti memberikan ilustrasi tentang bagaimana pentingnya pendidikan tentang safeguarding dimulai sejak dini. Di Kolese Kanisius, siswa diajarkan untuk mengenali dan memahami batasan pribadi mereka, serta bagaimana menghormati batasan orang lain. Contoh yang diberikan adalah pelatihan tentang cara berbicara dengan hormat, bagaimana cara mengungkapkan ketidaknyamanan, dan mengidentifikasi situasi yang mungkin berisiko bagi keselamatan mereka. Selain itu, para guru dilatih untuk memahami sinyal-sinyal yang mungkin mengindikasikan adanya masalah yang lebih besar, seperti penurunan motivasi belajar atau perubahan perilaku yang mencurigakan.

Sebagai contoh konkret dari penerapan safeguarding, Kolese Kanisius mengimplementasikan sistem pelaporan yang aman dan rahasia, di mana siswa atau anggota komunitas sekolah lainnya dapat melaporkan perilaku yang mencurigakan atau tidak pantas tanpa rasa takut akan pembalasan. Sistem ini tidak hanya berlaku untuk kekerasan fisik, tetapi juga untuk perundungan, pelecehan emosional, atau pelecehan seksual. Dalam beberapa kasus, siswa yang melaporkan masalah ini mendapatkan dukungan penuh dari pihak sekolah, yang memastikan bahwa proses penyelidikan dilakukan secara transparan dan adil. Hal ini menunjukkan bahwa safeguarding bukan hanya tentang reaktif terhadap masalah yang muncul, tetapi juga tentang memberikan ruang bagi individu untuk merasa aman dan didengar.

Menurut saya, pendekatan safeguarding yang diterapkan di Kolese Kanisius adalah langkah yang sangat positif dan patut dicontoh. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, di mana kekerasan dan pelecehan terhadap anak semakin meningkat, sekolah harus memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan nilai-nilai yang mengutamakan rasa aman dan saling menghormati. Dengan mengajarkan siswa untuk menghargai diri mereka sendiri dan orang lain, serta menyediakan saluran untuk melaporkan masalah dengan aman, Kolese Kanisius membuktikan bahwa mereka bukan hanya mendidik siswa secara akademis, tetapi juga mengembangkan mereka menjadi pribadi yang penuh empati dan tanggung jawab.

Penerapan safeguarding di Kolese Kanisius bisa dianalogikan seperti sebuah benteng yang dirancang untuk melindungi sebuah kota. Benteng ini tidak hanya terdiri dari dinding yang kuat (proteksi fisik), tetapi juga menanamkan nilai-nilai seperti kewaspadaan, kepedulian, dan keterbukaan di setiap sudut kota (komunitas sekolah). Sama halnya dengan benteng, yang memiliki banyak lapisan perlindungan, di Kolese Kanisius ada banyak langkah yang diambil untuk memastikan bahwa setiap siswa merasa aman dan dihargai. Tanpa benteng ini, kota bisa terancam oleh bahaya dari luar, begitu pula dengan komunitas sekolah yang tidak dilindungi dengan baik bisa menjadi tempat di mana kekerasan dan penindasan tumbuh subur.

Kolese Kanisius, dengan lingkungan yang terbuka dan inklusif, memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana safeguarding harus diterapkan di dunia pendidikan. Setiap ruang di sekolah ini, baik itu ruang kelas, ruang pertemuan, maupun ruang olahraga, dilengkapi dengan mekanisme yang memungkinkan siswa dan guru merasa terlindungi. Terdapat papan informasi yang menjelaskan prosedur pelaporan insiden, serta poster yang mengingatkan semua orang tentang pentingnya menjaga keselamatan fisik dan mental. Atmosfer yang tercipta adalah atmosfer di mana setiap orang merasa menjadi bagian dari satu keluarga besar yang saling mendukung dan melindungi, menciptakan lingkungan yang aman untuk tumbuh dan berkembang. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun