Tanah air tercinta kita kini sedang berduka dengan adanya wabah penyakit yang mengharuskan manusia berdiam diri sementara di rumah untuk kebaikan bersama, tak sedikit orang yang kehilangan pekerjaan, kehilangan penghasilan, bahkan kehilangan nyawanya karena wabah ini.Â
Jika bendera merah-putih dapat naik dengan tinggi, maka rasanya tak ada perbedaan atas rasa hormat yang saya pupuk hingga hari ini untuk naik  setinggi-tingginya pula kepada mereka yang berjuang di garda terdepan.Â
Kerelaan mereka  dalam menahan air mata, pegalnya mondar mandir, dan pengalihan fokus selama 24 jam berpisah dengan mereka yang biasa dilihat saat membuka pintu depan. Iya, keluarga hingga buah hatinya, ataupun orang-orang tercintanya secara umum demi berjuang di garis jatuhnya ranjau.
Kini rumah telah mendapatkan kembali arti dan peran yang sesungguhnya, bukan sekedar menjadi tempat untuk singgah sementara. Rumah yang kerap kita luput dan kesampingkan makna aslinya berhasil memaksa ulang esensi juga presensinya di tengah pandemi.Â
Bekerja dari rumah, belajar dari rumah, beribadah dari rumah sudah menjadi hal sangat wajar, setidaknya untuk saat ini. Kembali merujuk pada kata-kata singkat yang sangat menyentuh dari para tenaga medis "Kami tetap bekerja untuk kalian, tolong kalian tetap di rumah untuk kami", membuat hatiku tergerak untuk membantu mereka setidaknya dalam skala kecil dengan memberi contoh terhadap orang-orang tercinta, dan syukurnya mereka mengerti.
Senang rasanya berkumpul lengkap dengan keluarga kecilku ini, kulihat mereka tersenyum menonton tv sore itu. Walau ada banyak hal yang kami korbankan, setidaknya ada sedikit hikmah dibalik ini semua.Â
Makan bersama, shalat berjamaah dan masih banyak lagi hal yang biasa kami lakukan sendiri-sendiri kini kami menjalankannya bersama. Walau terkadang rasa bosan seringkali muncul, mungkin kebersamaan inilah yang akan kurindukan saat wabah penyakit ini berakhir, karena kesibukan kita masing-masing.
Berkumpulnya kami di rumah, tak jarang terjadi perselisihan kecil nan lucu antara aku dan adik-adikku. Jauh bau bunga, dekat bau tahi, mungkin itulah peribahasa yang cocok untuk kami bertiga.Â
Aku sebagai anak pertama seringkali mengalah untuk mereka dalam hal-hal yang membuatku jengkel, terutama adik perempuanku yang berumur sembilan tahun itu.Â
Sebagai mahasiswa, aku memiliki jadwal kuliah online yang padat, sebetulnya aku sudah mulai nyaman dengan gaya belajar baru ini, tetapi bagaimana kalau apa yang disampaikan dosen menjadi putus-putus karena adikku nonton youtube?Â
Menyebalkan sekali pastinya. Akhirnya aku harus menggunakan kuota Tri ku untuk kuliah online yang aku jalani, dan untungnya sekarang aku menjadi paham apa yang disampaikan dosenku, berkat Jaringan Tri Indonesia yang sudah tidak diragukan lagi kecepatannya.