Mohon tunggu...
Haz Algebra
Haz Algebra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang hamba dari semua insan besar, juga hamba dari para pecundang. Menulis untuk meninggalkan JEJAK! [http://hazbook.blogspot.com/]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Puasa Itu Cara Negatif Menuju Takwa; Tinggalkanlah, Jangan Lakukan!

11 Agustus 2010   17:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:07 2078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam surat Al Baqarah 2:183, tujuan manusia berpuasa dapat diibaratkan sebuah kapal yang mengarungi samudra nafsu untuk mencapai sebuah pulau yang disebut "takwa". Adapun pengertian takwa secara umum adalah melaksanakan perintah-perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangan-Nya untuk memelihara diri dari segala hal yang membahayakan dan merugikan hidup. Dalam surat lain dinyatakan pula bahwa manusia yang paling mulia di mata Tuhan adalah manusia yang paling tinggi ketakwaannya (QS 49:13). Hal ini berarti ketakwaan dapat dipandang sebagai ukuran derajat kemanusiaan manusia, dimana semakin tinggi ketakwaan seseorang, maka semakin tinggi pula derajat kemanusiaannya. Akan tetapi apa yang bisa dijadikan ukuran universal untuk menilai ketakwaan seseorang yang kemudian dibuat perhitungan dalam satuan derajat kemanusiaan?

Ketakwaan dalam arti sebenarnya bukan hanya mencerminkan kesalehan individual yang berguna untuk diri sendiri, melainkan juga memberikan dampak positif bagi orang banyak dengan melahirkan kesalehan sosial. Kesalehan individual sejati adalah daya penggerak bagi kesalehan sosial. Kesalehan individual yang tak berguna untuk orang banyak bukanlah kesalehan sejati. Kita dapat mengatakan bahwa manusia yang mulia di mata Tuhan adalah manusia yang kesalehannya bermanfaat bagi dirinya dan orang banyak. Manusia yang perilakunya tidak memiliki dampak sosial yang positif bukanlah orang saleh dan bukan pula orang bertakwa. Maka manfaat bagi orang banyak adalah ukuran atau bukti kebaikan, yang sekaligus menjadi ukuran universal ketakwaan dan kesalehan. Rasulullah pernah mengatakan bahwa manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang banyak. Tetapi harus diingat bahwa semua perbuatan yang dilakukan untuk kesalehan harus disertai dengan niat dan bernafaskan pengabdian kepada Tuhan. Jika suatu perbuatan tidak disertai niat untuk mengabdi kepada Tuhan, maka akan timbul godaan kuat untuk bersikap pamer diri (riya’).

Kapal puasa yang dinahkodai oleh iman dan melewati gelombang-gelombang nafsu, setelah berhasil mencapai tujuannya, yaitu ketakwaan, akan melahirkan sifat-sifat terpuji seperti kejujuran, kesabaran, ketabahan, kepedulian sosial, kedermawanan, kasih sayang, keramahan, dan toleransi. Ini adalah adalah sifat-sifat insani, yang berbeda dengan sifat-sifat hewani. Sifat-sifat insani mengangkat derajat kemanusiaan manusia. Sebaliknya, sifat-sifat-hewani menjatuhkan derajat kemanusiaan kepada derajat kebinatangan. Dalam konteks itu, puasa dapat dipandang sebagai sebuah "cara negatif" (via negativa, negative way) yakni meniadakan sifat-sifat hewani atau sifat-sifat tercela.

Menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang membatalkan, perbuatan-perbuatan tercela, dan segala sesuatu yang memalingkan diri dari menyaksikan Tuhan seperti: tidak melakukan makan, tidak minum, tidak bersetubuh, tidak berbohong, tidak menipu, tidak memfitnah, dan sebagainya adalah cara negatif yang tidak lain merupakan esensi dari puasa. Karena esensinya inilah, puasa menjadi beda dengan ibadah-ibadah lainnya. Menurut Ibn Arabi, Allah telah meninggikan puasa dengan menafikkan kemiripannya (mitsliyyah) dengan ibadah-ibadah lain. Hal ini berdasarkan rujukan hadis, “Hendaklah kamu berpuasa, karena puasa tak memiliki kemiripan (la mitsla lahu)”. Ibn ‘Arabi juga mengatakan bahwa puasa pada hakikatnya adalah meninggalkan, bukan melakukan (tark la ‘amal). Maksudnya, puasa sebagai cara negatif adalah suatu “beban yang diwajibkan” (maktubah), yang berlawanan dengan karakter primitif manusia seperti makan ketika lapar, minum ketika haus, dan marah ketika dicaci-maki. Dengan puasa, manusia harus meninggalkan karakter-karakter primitifnya tersebut, bukan melakukannya. Puasa mengekang sifat dasar manusia itu untuk menuju suatu fase yang disebut fase spiritualitas. Oleh karena itu, puasa adalah “beban yang diwajibkan” untuk kehidupan asketik dalam kehidupan manusia, karena tanpa unsur pengorbanan kepentingan diri (self-denial) dan asketisisme, kehidupan spiritual tidak mungkin akan tercapai. Hal ini diperkuat pula oleh pemikiran Seyyed Hossein Nasr, pemikir Sufi asal Iran, yang mengatakan bahwa terkadang manusia harus menarik diri dari kehidupan penuh dari indra-indra agar mampu menikmati buah tangkapan daya indrawi. Pernyataan ini sama halnya dengan konsep 'kekosongan" dalam Taoisme atau konsep "misogi" dalam Meditasi Zen bahwa spiritualitas adalah kekosongan, tanpa ada kekosongan dalam diri manusia, maka manusia itu tidak dapat menjalankan fungsi atau fitrah kemanusiaannya. Ibarat sebuah gelas yang penuh dengan air, maka gelas itu tidak dapat lagi berfungsi sebagai penampung air, kecuali dalam keadaan kosong.

Puasa adalah pengosongan diri dari sifat-sifat hewani agar diri menjadi ruang bagi sifat-sifat insani. Apabila sifat-sifat hewani telah hilang dari diri orang yang berpuasa, maka yang tersisa dalam dirinya adalah sifat-sifat insani. Dengan adanya ruang kosong bagi sifat insani ini, maka manusia dapat leluasa menjalankan fitrahnya di bumi. Fitrah pada dasarnya berarti "suci" atau bebas dari dosa, dan berati juga "kecenderungan manusia pada kebenaran". Keduanya memiliki relasi yang tidak terpisahkan, sebagaimana fitrah manusia dalam Al Quran yakni menjadi khalifah di muka bumi, maka manusia harus melakukan perbaikan-perbaikan di muka bumi, bukan sebaliknya, Dan pada saat manusia berbuat sesuai kecenderungannya pada kebenaran, maka pada saat yang sama manusia dapat memetik kesuciannya.

Jika puasa telah berhasil menciptakan ruang kosong bagi sifat-sifat insani pada manusia. Maka akan terbentuk manusia-manusia yang jujur, sabar, peduli sosial, dermawan, ramah, dan toleran. Manusia seperti ini tak akan melakukan penipuan dan mengambil yang bukan haknya. Manusia seperti ini tak akan membiarkan orang-orang yang terpinggirkan menderita kelaparan. Manusia seperti ini tak akan mencaci-maki agama lain atau aliran lain karena itu akan menyakiti para penganutnya. Manusia seperti ini tak akan melakukan kekerasan, meskipun atas nama kebenaran dan Tuhan. Manusia seperti ini memiliki kesalehan sosial dan berhasil menjadi khalifah di muka bumi serta berhasil meninggikan derajat kemanusiaannya di hadapan Tuhan. Kesimpulannya, puasa itu menggunakan cara negatif untuk mencapai tujuannya yaitu takwa. Oleh karena itu, mari kita berpuasa untuk meninggalkan sifat hewani kita dan membuat ruang kosong untuk kemudian mengisinya dengan sifat-sifat insani yang dampaknya bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk orang banyak.

Sebagai penutup, walaupun yang menjalankan ibadah puasa Ramadhan itu hanya umat Islam, sudah semestinya yang ikut merasakan efek positif dari puasa Ramadan adalah seluruh warga Bangsa Indonesia.  Selamat menunaikan ibadah puasa, mohon maaf lahir dan bathin.

***

Sumber gambar : google

Baca juga: Tuhan, Aku Lapar! Pragmatisme FPI dan Kembalinya “Sang Pembela Kebenaran” Ramadhan Sebagai Teologi Anti Korupsi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun