Beranjak dari frase "IQRA" yang merupakan Instruksi pertama dari Tuhan kepada seluruh umat manusia melalui Nabi Muhammad. Dimana frase ini mengandung makna kewajiban manusia untuk selalu mencari tahu tentang semua fenomena-fenomena alam beserta kejadian-kejadian didalamnya untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman. Selain itu, Dalam Quran sendiri, berkali-kali kita menjumpai ayat-ayat yang diakhiri dengan sebuah pertanyaan retoris berbunyi “afala ta’qilun“, apakah kalian tak memakai akal, atau “la’allakum tatafakkarun” atau “afala tatafakkarun“, apakah kalian tak berpikir. ini jelas sekali kebijaksanaan Allah yang tidak hanya memberikan instruksi kepada manusia untuk kritis terhadap' alam tapi juga kritis terhadap firmanNya sendiri.
Nabi pernah bersaba, ”ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. Sebuah hadis qudsi lainnya yang populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah ’kanzun makhfiyy’, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan.
Tak terkecuali dgn kisah Nabi Ibrahim yang juga tercantum dalam kompilasi Firman-firman Tuhan dalam Kitab sucinya. Dimana diriwayatkan Tuhan akan menguji keimanan Ibrahim dengan memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih putranya Ismail. Lalu Ibrahim tanpa banyak tanya segera mematuhi perintah Tuhan itu, tp kemudian Tuhan akhirnya mengganti Putra Ibrahim dgn hewan sembelihan. Inilah yang akhirnya diteruskan oleh umat Muslim dan dirayakan sebagai Idul Qurban dimana umat muslim merayakannya dengan ritual penyembelihan hewan qurban.
Jika kita menelaah sejarah ini, tentu kita akan bertanya-tanya apa maksud Tuhan sebenarnya?? Mengapa dia menyuruh hambanya untuk melakukan hal yang bertentangan dengan sifat-sifat keberadaanNya?? Jika Maksud Tuhan untuk menguji iman Nabi Ibrahim, mungkin saja iman Nabi ini akan lebih tinggi dimata Tuhan bila ketika itu dia tidak sertamerta mematuhi perintahNya untuk menyembelih putranya, karena Tuhan tidak mungkin menginginkan keburukan.
Lalu dimanakah letak keikhlasan Ibrahim ?
Mungkin kita sepakat bahwa Ibrahim adalah seorang yang Islami ( bukan Islam sebagai agama). Islam memang berarti ketundukan. Muslim berarti orang yang tunduk. Tapi apa yang telah dilakukan oleh Ibrahim adalah ketundukan pada perintah Tuhan tanpa reserve, tanpa ba-bi-bu. Layaknya pemahaman Islam Konservatif sekarang, bahwa kita tak diperbolehkan untuk mempertanyakan kenapa Tuhan memerintahkan hal ini, melarang itu. Tugas manusia nyaris seperti “budak” yang taat tanpa berpikir pada sebuah perintah.
Pemahaman keislaman seperti ini, dalam pandangan saya, jelas sama sekali tak tepat. Memakai akal adalah perintah Tuhan itu sendiri. Jika seseorang mengikuti perintah agama dengan sikap kritis, itu bukan berarti ia tak tunduk pada perintah tersebut, tetapi justru ia melaksanakan perintah itu sendiri. Sebab, dalam banyak ayat Tuhan mengkritik perilaku mereka yang hanya mengikuti apa yang sudah ada tanpa berpikir kritis. Bacalah ayat berikut ini: qalu wajadna aba’ana kazalika yaf’alun (QS 26:74). Terjemahan bebas: mereka berkata, kami hanya mengikuti saja apa yang telah dilakukan oleh bapak-bapak kami sebelumnya. Orang-orang seperti ini mempunyai prinsip yang khas: pokoknya agama mengatakan A, ya sudah, saya mengikutinya tanpa bertanya apapun. Orang-orang semacam ini merasa tunduk pada perintah Tuhan, padahal mereka mengabaikan perintah Tuhan yang lain untuk berpikir kritis.
Ini hanyalah sebuah pemikiran sepkulatif sehingga bisa menghasilkan berbagai interpretasi dan juga bisa bersifat kontroversial tapi tanpa provokasi agama apapun.
- Haz (Idul Qurban 1430 H)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H