Mohon tunggu...
H4yy4N ibnu Wardi
H4yy4N ibnu Wardi Mohon Tunggu... -

Think Big Start Small gak kakean cangkem

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Alhamdulillah, Akhirnya Lahir Juga ...

22 Juni 2012   00:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:41 13791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ditunggu sampai tanggal 16, kalau sampai hari itu ga lahir2 maka harus didrip.” Jawaban sms istriku ketika kutanyakan hasil kontrol kandungan pada Senin, 11 Juni 2012.

Astaghfirulloohal ‘adhieem … nas alullooha salaamah wal aafiyah, gumamku lirih.

Drip, drip, drip .. kata itu seolah jadi momok bagiku dan mungkin bagi kaum hawa pada khususnya. Tak banyak yg aku tahu tentang drip. Awal kali dengar kata drip dari adik pas mau melahirkan anaknya pada Agustus 2007 lampau. Yang aku ingat secara pasti dari dia, bahwa drip itu sakit. Namun seperti apa sakitnya, aku tak mendapatkan gambaran detailnya. Hanya sakit aja ! Melebihi sakitnya orang yg melahirkan secara normal …begitu konon kabarnya.

Maka begitu dihadapkan kenyataan bahwa istriku harus didrip kalau sang bayi gak mau lahir pada tanggal 16 Juni, perasaan grogi muncul.

Aku sms beberapa teman dekat, meminta bantuan doa mereka agar proses kelahiran anak kami diberi kemudahan.

Ada satu jawaban yang membikin penasaran. Dari teman dekat sesama arema, Nami Blue namanya. Dia balas kurang lebih, “Semoga diberi kelancaran. Dulu istriku juga didrip, malah lebih enak cepat keluar. Sakitnya juga gak lama2”

Wah, gak salah baca nih ?! Mayoritas mengatakan sakitnya luar biasa, ini kok mengatakan malah lebih enak didrip ? Esok harinya ketika ketemu di kantor aku tanyakan padanya perihal sms jawaban itu.

“Iya bro, istriku dulu melahirkan anak pertama normal sakitnya sampai 24 jam. Lha anak kedua harus didrip, tapi cuman merasakan sakit sekitar 4 jam. Bahkan istriku ampe bilang, wah lebih enak didrip aja yah, lebih cepat. Gak terlalu lama merasakan sakit.”

“Tapi katanya didrip itu sakit bro?” tanyaku lebih lanjut.

“Ya mana ada sih orang melahirkan gak sakit ?”

Betul juga yaa …

Jawaban yg membuat hati tenang. Lebih percaya diri untuk menenangkan hati istri.

Sabtu, 16 Januari 2012

Selepas sholat dhuha aku antar istri kontrol ke Klinik Aisyah – Muhammadiyah, Pandaan. Tak pake antre, karena ga ada yg kontrol. Istri masuk ruangan, aku menunggu di luar.

Sabtu itu suasana sepi. Tak ada deretan pasien berjajar di ruang tunggu Poli Umum seperti biasanya. Halaman klinik nan luas, ditumbuhi tiga batang pohon kerres menambah sejuknya suasana. Angin tenggara bertiup membawa dinginnya awal musim kemarau menyapu kulit yg terasa kering. Orang dusun kami menyebutnya “mbediding”.

Di seberang jalan, nun jauh di sana sekira 40 kilometer dari tempatku duduk, Gunung Penanggungan kokoh berdiri. Langit yg cerah tanpa balutan awan menambah indahnya suasana. Aku sempatkan mengambil gambarnya dengan ponsel.

1340325009196319892
1340325009196319892

Aku lihat istri keluar dari ruang periksa, diikuti mbak bidan. Mereka tersenyum. Belum sempat istriku berkata, mbak bidan mendahului “Mas, istrinya sudah bukaan dua. Insya Alloh hari ini lahir. Kalau bisa jangan ke mana2, langsung booking kamar saja.”

Alhamdulillaah, semoga bisa normal gak pake drip, ucapku lirih.

“Gimana, langsung tinggal di sini apa pulang dulu?” tanyaku.

“Pulang dulu aja, masih belum terasa mules2 banget kok. Insya Alloh masih bisa nahan. Nanti mampir ke pasar dulu, beli dawet buat anak2” Jawab istri.

“Hati2 lho mas, segera pulang ..Perbanyak jalan, biar sang bayi cepat keluar” kata mbak bidan mengiringi langkah kami ke parkiran sepeda motor.

Jam 14.15 aku dibangunkan ibu mertua. “Nak, sudah kamu antar saja istrimu ke klinik. Kok sepertinya sudah kelihatan pucat gitu.”

Bergegas aku cuci muka. Membawa tas perlengkapan melahirkan, berboncengan ma istri menuju klinik.

Setibanya di klinik Aisyah, ternyata istri sudah bukaan tiga. Kami gak boleh pulang, langsung ngamar. Qoddarulloh, kelas VIP dan kelas I penuh. Hanya tersisa Multazam II, khusus bagi ibu hamil dan atau yg berkaitan dengan kandungan. Mau gak mau, ya tempat itu lah yg harus kami tempati.

Ruangan berukuran sekitar 6x10 meter. Diisi empat tempat tidur pasien, satu kamar mandi. Yang memisahkan antar tempat tidur hanya tirai. Tak ada AC, hanya satu kipas angin terpasang di atas tempat tidur A. Ukurannya sedang. Temboknya bersih berwarna biru laut, nampak habis dicat. Dari bawah ampe sekitar 75 centimeter ke atas, tembok tersebut dipasangi keramik warna yang senada dengan tembok. Meski bukan keramik kwalitas terbaik, setidaknya bisa menambah sejuknya suasana kamar. Istri memilih tempat tidur C, dengan pertimbangan dekat kamar mandi. Kalau ada apa2, tak perlu berjalan jauh. Hanya kami yang berada di sana, tiga tempat tidur lainnya kosong. Alhamdulillaah, bisa tidur pulas neh … gumamku. Hehehehe …

Teringat setahun yang lalu, kala aku membezuk Bu Siti tetangga dusun yg sakit kencing manis. Beliau dirawat di bangsal itu. Kala itu bangsal masih difungsikan untuk perawatan semua pasien, bukan khusus persalinan. Yang persalinan tepat berada di sebelah timurnya, berdempetan dengan ruang para perawat. Bangsal Bu Siti (yg kini ditempati istri) dulu masih jelek. Cat tembok kelihatan usang. Sirkulasi udara juga tak baik karena ventilasi belum dibenahi dan ditambah. Keramik yg terpasang di tembok (yg berfungsi untuk mengurangi panas) juga belum terpasang.

“Pak, istrinya sudah bukaan tiga. Nanti sekitar jam tujuh malam kita periksa lagi. Kalau bukaannya gak nambah2, maka langsung kita drip. Karena ini sudah anak ketiga. Secara ilmu kebidanan, mestinya penambahan bukaannya cepat.” jelas Bidan Mira pada saya yg ikut masuk mendampingi di kamar periksa.

Bidan Mira, umurnya mungkin sekira 30 tahun. Perawakannya tak berbeda jauh dengan istriku. Cara bicaranya tampak hati2, ditata urut. Setiap akan menyampaikan suatu hajat, misal perkembangan kandungan, masalah obat, biaya dan lain2 beliau selalu mendahuluinya dengan kata “maaf”. Secara keseluruhan, penilain saya bahwa Bidan Mira termasuk orang yang (terlalu) berhati2, kurang berani mengambil resiko. Itu yang aku tangkap di awal pertemuan itu. Tapi aku bisa menyadari, karena pekerjaan bidan bukanlah main2. Ini perkara nyawa, baik nyawa sang ibu maupun si janin. Dibutuhkan tingkat kehati2an yg tinggi. Kalau sekali saja dia salah ambil keputusan dan mengakibatkan kemudhorotan bagi sang ibu maupun si janin, mau tidak mau dia ikut bertanggung jawab. Dan bisa jadi terseret ke ranah hukum bila keluarga pasien tidak terima.

Selepas isya’ istri masuk kamar periksa. Aku yang baru datang dari masjid, menemui ibu dan bapak mertua di ruang tunggu. Di sana sudah ada rofiq dan harits. Mereka berdua asyik main di halaman, kejar2an ma kucing.

Lima menit berikutnya, aku dipanggil istri masuk ke ruang periksa.

“Pak, bukaan mbak-nya gak nambah2. Tetap di bukaan tiga. Mestinya, untuk anak ketiga, dalam kurun waktu empat jam harus ada penambahan bukaan. Maka ini harus didrip.”

“Ya udah mbak gak papa, emang jalannya kaya gini”, jawabku dengan perasaan sedikit grogi.

“Mbak-nya gak usah takut, santai dan rileks aja. Karena kalau mbak-nya tegang, bayinya jadi ikut stress. Nanti malah ga bisa keluar”, kata Bidan Mira kepada istriku yg terlihat pucat.

“Pak, ini nanti kita konsultasikan via telpon dengan Dokter Spesialis kandungan dulu (dia menyebut nama sambil menunjukkan pada selembar kertas semisal piagam yg sudah dipigora dan terpajang di dinding). Kita menuruti bagaimana arahan dari dokter. Hal ini meliputi takaran infus, obat, dan tindakan medisnya”, Bidan Mira sambil menyodorkan beberapa lembar surat yang harus aku tanda tangani. Aku tak membacanya, langsung kububuhkan tanda tangan. Paling2 isinya ya persetujuan tindakan medis ini dan itu aja, standart.

Kupandangi istriku yang duduk persis di sebelah Bidan Mira. Tak ada secercah senyuman. Tak ada rona kebahagiaan menyambut sang jabang bayi. Jilbab ungu yg dipakainya semakin menambah suram rona mukanya. Layaknya orang yg sedih, pucat pasi. Aku sendiri tak tahu apa yang ada di pikirannya. Namun dari sorot matanya aku bisa menangkap sebuah pesan, bahwa dirinya takut. Tak siap dengan semuanya. Aku berbaik sangka, bahwa ini semua karena informasi salah tentang drip yang masuk ke dalam otaknya. Satu hal yg pernah aku dengar darinya, bahwasanya drip lebih sakit dari melahirkan normal. Temannya dulu ada yg didrip, mengatakan bahwa sakitnya minta ampun. Adik ponakannya demikian pula, pernah didrip. Ceritanya pun sama, sakit. Bahkan ibu mertua dulu ketika melahirkan adik istriku juga didrip. Katanya sakit pula. Lengkap sudah … Percuma bagiku menjelaskan padanya kalau drip itu tidak sakit.Meski sudah aku katakan padanya tentang istri temanku, Nami Blue, yang merasa lebih enjoy dengan lahir didrip, pendiriannya tak goyah.

Setelah menyusun berkas2 yang aku tanda tangani dalam satu map merah muda, Bidan Mira melanjutkan penjelasannya, “Mbak gak usah takut…. Rileks saja, biar adiknya yang di dalam perut tidak stress. Kalau adiknya stress nanti malah gak bisa keluar. Ya memang didrip itu lebih sakit dari melahirkan normal, tapi mbaknya ga usah takut. Santai aja.”

Ehmmm, diri ini sudah stress melihat istri yang pucat pasi, bertambah emosi lagi demi mendengar ucapan Bidan Mira.

“Begini Pak, semua kita usahakan lahir normal dengan cara dibantu dengan rangsangan buatan ini. Tapi kalau nanti di tengah jalan tidak berhasil, maka operasi menjadi jalan terakhirnya.”

Kala itu emosiku meledak. Tapi aku tidak mau membikin keruh suasana dengan mendebat Bidan Mira. Aku iyakan semua yang dikatakannya dengan dada bergemuruh.

Bidan Mira meninggalkan kami berdua di ruang pemeriksaan. Dia menuju ruang perawat, menghubungi dokter spesialis kandungan meminta petunjuk arahan untuk penanganan kelahiran anakku. Tindakan drip segera dilaksanakan.

Maka sebelum Bidan Mira kembali ke ruang pemeriksaan, aku putuskan untuk membatalkannya. Mungkin lebih tepatnya menundanya sampai besok pagi. Aku memutuskan itu tanpa bicara dengan istri !

Kenapa aku putuskan demikian ? Pertama, istri kelihatan masih shock dengan tindakan drip. Tidak seperti anak pertama dan kedua yang berjalan alami dan alhamdulillah lancar. Kedua, aku pribadi merasa kurang cocok dengan Bidan Mira. Ya memang betul dia bersikap sopan, tutur katanya halus, dan berbicara dengan hati2. Tapi yg kubaca dari semua ucapannya itu bahwasanya dia tidak yakin dengan kemampuannya sendiri dalam membantu kelahiran anak ketigaku. Belum apa2 sudah mengatakan bahwa nanti kalau tidak berhasil akan dioperasi. Lha ini proses drip belum berjalan, kok sudah bicara operasi ?! Dan tak tepat pula dia mengatakan begitu kepada istriku yg sudah kelihatan shock. Semua orang pun sudah paham, kalau gak bisa normal ya pasti operasi. Itu sudah sunnatulloh. Tak usah disampaikan pun semua orang paham. Kalimatnya “beraura” negative, pesimis.

Coba bedakan kalimat berikut dengan kalimat Bidan Mira “Mbak meski nanti kalau tidak berhasil tetap harus operasi, tapi saya akan berusaha maksimal membantu mbak agar bisa lahir normal”.Kalimat ini lebih membawa energi positif. Membawa nada optimisme.

Sama seperti kalimat ini, “Hal ini bisa dilakukan, tapi sepertinya sulit” dibandingkan dengan “Meski hal ini sulit dilakukan, tapi saya akan tetap mencobanya sampai bisa”. Dua kalimat yang intinya sama (yaitu melakukan dan sulit), tapi ketika susunannya diubah maka kesan yg ditimbulkan pun berbeda.

(Teringat faedah dari Syeikh Robi ketika membantah kaedah bathil muwazzanah, bahwa ketika seseorang menyebutkan kejelekan2 ahlul bid’ah maka harus disertai pula dengan menyebutkan kebaikan2nya. Maka Syeikh Robi menyatakan, baiklah kalau pun toh kaedah itu diterima, maka sebutkanlah kebaikan2 mereka dahulu baru kemudian diakhiri dengan menyebutkan kejelekan2nya. Hal ini pernah pula aku dengar dari Ustadz Afif)

Hal ketiga yang mendasariku menunda drip itu, bahwa sudah tidak ada rasa saling percaya antara kami dengan Bidan Mira. Ketika rasa percaya itu sudah tiada, apalagi yang mau diharapkan ?? Istilah orang sekarang itu gak ada “chemistry”, tidak dapat “soul”-nya, hehehhe … Dengan menundanya sampai besok pagi, bisa berharap ada pergantian shift bidan.

Perlu digarisbawahi, aku tidak menyalahkan Bidan Mira atau pun meragukan kemampuannya. Itu murni penilaian subyektif dariku. Yang membuatku tidak sreg adalah cara penyampaian dia, yang menurutku kurang cocok dengan karakteristik diriku dan istriku. Bukan gua banget, istilah anak sekarang. Mungkin cara penyampaian seperti Bidan Mira itu bisa cocok untuk orang lain yang tak setipe denganku. Ibaratnya seperti guru. Ada kalanya aku cocok dengan guru A, karena enak dalam mengajarkan. Tidak cocok dengan guru B, karena terlalu bertele2 dalam menyampaikan. Tapi hal ini tidak berlaku bagi temanku yg dia lebih menyukai guru B daripada guru A. Dalam hati kecil berkata, Bidan Mira ini mungkin lebih cocok utk tindakan pasca kelahiran.

Setelah selesai telpon ke dokter kandungan, Bidan Mira kembali ke ruang periksa. Aku langsung berkata padanya, “Maaf mbak, saya minta tindakan drip ditunda dulu sampai besok pagi.”

“Tapi ini saya sudah konsultasi ke dokternya, Pak”

“Iya gak apa2, nanti saya bayar biaya konsultasinya”, jawabku.

Dalam hati kecilku terus berdoa, semoga bisa lahir normal. Mungkin dengan menunda drip, kali aja ada keajaiban anakku lahir normal malam harinya dengan mengharap barokah bahwasanya malam itu adalah 27 Rojab, malam isra’ mi’raj. Yang lebih penting lagi, aku ingin memulihkan psikis istri yang remuk redam. Masih ada waktu untuk bicara dari hati ke hati memulihkan kepercayaan diri menghadapi persalinan, apa pun kondisinya.

Bapak ibu mertua dan anak2 pulang sesaat setelah kuputuskan penundaan drip. Aku dan istri menuju bangsal. Hening, hanya ada kami berdua. Jiwa ini sudah pasrah, totally surrender … Bila sebelumnya hati kecil ini ingin istri melahirkan normal tanpa operasi, kali ini sudah tak ada keinginan itu lagi. Semua kupasrahkan pada-Nya. Terserah Alloh mau bagaimana, Dia yang Maha Berkehendak. Mau normal, mau drip, mau operasi … terserah. Aku sudah pasrah. Hanya satu yang kupinta, berikan kemudahan dan jalan yang terbaik. Kalau aku berdoa meminta anakku lahir normal, belum tentu itu baik bagiku, bagi istri dan bagi janin. Bisa saja kelahirannya dipersulit begini dan begitu.Segala kemungkinan itu ada. Aku juga malu, berdoa kok seolah “mendikte” Alloh. Seolah kita lebih tahu dari-Nya. Seolah kita tahu bahwa lahir normal lebih baik daripada drip atau bahkan operasi. Bukankah Alloh menyatakan dalam surat Al Baqoroh yg kurang lebih artinya “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Semua kupasrahkan pada-Nya.

“Abu Rofiq, apakah setiap kelahiran anak itu sudah tercatat di catatan taqdir ?”, tanya istri memecah keheningan.

“Yup, itu sudah pasti”

“Termasuk pula bagaimana dia lahir ? Apakah dia normal, drip ataukah operasi ?”

“Yup, semuanya sudah tercatat dan telah selesai urusannya sebelum sang bayi itu lahir”.

“Apa nama Alloh yang artinya Maha Memudahkan segala urusan ?”, tanya istriku.

Ditanya seperti ini aku gelagapan. Wong aku gak hafal asmaul husnaa, juga gak bisa bahasa arab. Yang aku bisa cuman thoyyib, na’am, laa, khoir, kaif, abi, ummi, qiqiqii … Tapi aku teringat pembahasan kitab riyadhus sholihin (disampaikan oleh Ustadz Khidhir) yang aku dengarkan beberapa hari sebelumnya. Pembahasan tentang tiga pemuda yg terjebak di dalam gua. Singkat cerita, dalam doanya mereka mengatakan “Alloohumma”.

Kata “Allohumma” terdiri dari “Alloh” dan “mim” yg ditasydid. Asalnya adalah Yaa Alloh, yang artinya “saya menyerumu/ memanggilmu Yaa Alloh”. Dan memang harusnya seperti itu, kata panggil dulu baru yang dipanggil. Contoh “Yaa Muhammad, Yaa Ali”. Kalau dalam bahasa Indonesia mungking seperti “Wahai Muhammad, Wahai Ali”. Maka tidak cocok kalau “Muhammad wahai, Ali wahai”. Tetapi dalam doa, sangat beradab kalau langsung nama Alloh yang terucap. Nama Alloh yang dikedepankan dan kata panggilnya diakhirkan tapi dirubah bentuknya menjadi mim bertasydid. Sehingga terjadilah perubahan bentuk, sesuatu yang asalnya di akhir dikedepankan. Ini maknanya “pengkhususan”, maka terjemahan Allohumma yang benar adalah “hanya kepadaMU Yaa Alloh saya meminta, tidak kepada selainnya”. Ini sama seperti dalam surat Al Fatihah pada ayat “Iyyaka na’budu”. Kalau grammar normal mestinya “na’budu iyyaaka”.

Faedah selanjutnya, dalam kata Allohumma ada huruf “mim” yang ditasydid. Dalam bahasa arab, kata-kata yg diakhiri dengan mim tasydid menunjukkan banyaknya, luasnya cakupannya. Karena itulah, kita meminta dengan permintaan apa pun juga dengan Allohumma cocok jadinya, sebab dia melingkup semuanya.

Ar-rohman artinya maha merahmati, Ar Rozaq maha member rizqi, Al Ghoniy maha kaya dan sebagainya. Lalu apa artinya Alloh ? Berakar kata dari uluhiyah, maknanya sifat yang kepadaNYa diserahkan ibadah. Jadi artinya Yang Maha Berhak untuk diibadahi.

Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa makna Alloh adalah nama yang seluruh makna yg terdapat pada nama2 dan sifat Alloh kembali pada-Nya. Dalam Al Quran disebutkan bahwa Alloh mempunyai nama2 yang indah, maka berdoalah melalui nama2NYA. Maka adab dalam berdoa, harus menggunakan nama2 Alloh. Dan aturannya, nama yang sesuai dengan permintaan. Misal kita meminta rizqi, kita gunakan Yaa Rozzaq. Minta ampunan, Yaa Ghofuurur rohiim.

Lalu bagaimana kalau kita tidak tahu nama Alloh ? Seperti dalam kasusku kali ini ketika istri tanya nama Alloh yang artinya Maha Memudahkan. Maka cukuplah dengan “Allohumma”, dia sudah mencakup segala nama dan sifat Alloh.

Ada benarnya juga Nabi kita banyak mengajarkan dalam doanya dengan memakai kata Allohumma. Karena bisa diperkirakan bahwa ummatnya hanya sedikit yang hafal dan paham asmaul husna.

“Cukup katakan Allohumma, karena itu sudah mencakup seluruh nama dan sifat Alloh”, jawabku.

Jam 9 malam pergantian shift bidan. Kali ini yang menangani Bidan Nia. Perawakannya kecil, lebih kecil dari istriku. Juga lebih pendek dari Bidan Mira. Pembawaannya ceria, bicaranya ceplas ceplos khas orang jawa timur terkhusus malang – Surabaya. Kacamata minus menghias di wajahnya.

“Permisi mbak, mau kita control dulu perkembangannya”, katanya sambil mempersiapkan peralatan. Dia ditemani seorang bidan magang. Aku tahu dari pakaiannya, warna putih. Artinya dia sedang magang, kalau pegawai pakaiannya warna ungu.

“Mbak gak usah takut, santai saja. Rilekss … biar adik yg di dalam gak ikut stress. Gak usah khawatir, di sini sudah sering menangani drip dan Alhamdulillah selama ini berhasil semua. Dan yang namanya didrip, insya Alloh pasti keluar bayinya”,. Saya mendengarkannya dari balik tabir.

“Yess, ini bidan yang saya cari !” pekik saya dalam hati. Bidan yang optimis, berpikiran positif, mampu mensugesti sang pasien. Memberikan semangat baru pada istriku. Saya bisa merasakan vibrasi semangat itu.

Sepeninggal Bidan Nia, istriku tampak lebih tenang. Sudah siap dengan segala yang dihadapi. Kemungkinan terburuk operasi pun dia sudah siap.

“Aku sekarang lebih tenang. Aku Cuma berdoa agar diberi kekuatan menghadapi semuanya, bisa sabar, dan semoga diberi kelancaran. Normal, drip atau operasi aku sudah siap”, kata istriku sebelum tidur.

Malam itu menjadi malam yang panjang bagiku. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Mata ini belum juga terpejam. Bertanya2 dalam hati, kenapa kelahiran anak ketiga kali ini sulit ? Bahkan lebih sulit dari anak pertama. Dulu Rofiq relatif lancar. Mulai terasa kontraksi berat jam 11 siang, jam 13.30 sudah lahir. Harits bahkan gak ada satu jam. Teringat sebuah ayat dalam Al Quran yg kurang lebih artinya, musibah apa yg menimpamu itu berasal dari tanganmu. Ehmm … kalau lah sulitnya kelahiran anak ini adalah sebuah “musibah”, pasti ada salah pada diriku.

Aku tidur di ranjang B, di sebelah barat tempat tidur istri dalam posisi berbanjar. Bukan kasur, hanya matras dilapisi pembungkus dari bahan semi kulit. Dingin. Membolak balikkan badan ke kanan danke kiri. Mencari tahu, apa kira2 kesalahanku yang terhitung fatal. Ehhm, teringat kejadian sekitar bulan Mei tepat di bulan ke delapan kehamilan istri. Ya, mungkin itu lah “batu pengganjal” keluarnya anakku. Astaghfirulloohal ‘adhiem … yaa sepertinya ini. Aku banyak2 beristighfar memohon ampun pada-Nya.

Sebelum kupejamkan mata, aku ambil ponsel di meja sebelah. Aku setting alarm jam 2.30. Aku ingin sholat malam, memohon kelancaran pada-Nya. Begini lah sifat dasar manusia, kalau sudah kepepet tanpa disuruh pasti langsung ibadah pol-polan ! Giliran dalam keadaan lapang, banyak yang lupa. Betapa hinanya diriku … Tak lupa pula aku kirimkan sms kepada teman2. Aku minta doa mereka. Bertubi2 sms balasan masuk, tapi aku tak menggubrisnya. Aku capek, ingin rehat …

Tidur yang tak jenak. Tiap 30 menit sekali terbangun. Kulihat istri di sebelahku, sama saja. Tidurnya pun resah, tak bisa pulas. Membolak balikkan badan ke kanan dan ke kiri. Sebelum alarm berbunyi aku sudah bangun. Kulihat masih jam dua dini hari. Terdengar di luar suara orang sedang menyaksikan tayangan EURO 2012. Diriku tetap di atas tempat tidur, terlentang menghadap langit2. Yaa Robb, ampuni aku … desisku pelan. Aku tak bisa tidur lagi, tapi juga tak segera bangun. Hanya berdzikir sambil memandangi langit2 ruangan.

Tepat jam tiga aku bangun, mendekati istri. “Mi, aku ke mushola dulu. Mau sholat. Nanti kamu nyusul yaa ..”.

“Iya, nanti aku susul.”

1340325178713642409
1340325178713642409

Tak pernah aku merasakan sholat (di luar ramadhon) sekhusyu’ ini. Seolah aku bicara berhadapan langsung dengan Alloh. Untaian ayat dan dzikir yang keluar dari lisan, aku hayati betul maknanya. Betapa nistanya diri ini ! Mengiba2, merengek2 pada Alloh di kala membutuhkanNYA ? Ke mana saja diri ini kala lapang ??!! Maluuuu … tak sebanding antara harap dan syukurku. Sebagai contoh idealnya antara harap dan syukur ada pada diri Nabi. Ketika beristighotsah menjelang perang Badar, beliau berdoa dengan penuh kekhusyu’an sampai sorbannya jatuh. Dan di kala lapang, beliau sholat malam sampai kakinya bengkak. Ketika Aisyah bertanya, kenapa sholat sampai seperti itu padahal Alloh telah mengampuni dosa yang telah lalu dan yang akan datang ? Maka Nabi menjawabnya kurang lebih “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur ?” Ini lah yang benar ! Seimbang antara harap dan syukur. Maka benarlah ketika Alloh berfirman “fadzkuruuni adzkurkum”, ingatlah padaKU maka Aku akan meningatmu. Juga dalam hadits yang kurang lebih artinya, ingatlah Alloh di kala lapang maka Dia akan mengingatmu di kala susah.

Dini hari itu aku banyak2 memohon ampun. Aku tak berdoa agar anakku lahir normal, tidak sama sekali. Aku sudah pasrah. Aku cuma berdoa agar diberikan yang terbaik. Kalau yang terbaik adalah operasi, monggo silahkan. Aku sudah siap semuanya. Permintaan yang “mendikte” Alloh dini hari itu sudah tiada lagi. Aku serahkan semua padaNYA. Terserah apa mau Alloh… normal, drip, atau operasi.

Selayaknya kisah tiga pemuda di dalam goa yg menyebutkan amal sholeh mereka di dalam untaian doa mereka (dan ini termasuk wasilah yg diperbolehkan dalam syariat), aku pun ingin menyebutkan amal solehku. Amal soleh yang bener2 ikhlas karena Alloh, itu syarat mutlaknya. Aku bingung, amal yang mana ? Kok rasa2nya tidak ada yang murni karena Alloh. Semua ada tendensinya. Aku tak yakin amalku diterima olehNYA. Ah, betapa celaka diri ini tak mempunyai tabungan amal soleh. Teringat dalam kajian ustadz Muhammad As- Sewed tentang kisah salah seorang ulama salaf, ada yg pernah mengatakan “Kalau aku mengetahui satu saja dari amalku diterima oleh Alloh, aku ingin mati saat itu juga !”. Sekelas para pendahulu saja seperti itu, apalagi aku ??

Ehhmm, aku tidak berani menyebutkan amalku, meski hanya satu. Aku tak yakin apakah itu murni karena Alloh ataukah tidak. Kemudian aku teringat tentang kisah Ulbah bin Zaid dalam peristiwa Perang Tabuk. Nah, ini mungkin yang bisa aku pakai sebagai wasilah … Maka dini hari itu juga, aku berdoa sebagaimana doanya Ulbah bin Zaid. Dan berharap semoga Alloh menerimanya.

(Untuk kisah Ulbah bin Zaid, silahkan googling sendiri yaaa …)

Sekitar 30 menit kemudian terlihat istriku datang. Dia sholat di belakangku. Aku sendiri baru saja menyelesaikan dua rokaat pertama. Tak segera melanjutkan sholat berikutnya, hanya duduk berdzikir. Kudengar isak tangis istriku. Kadang seperti tangis yang tertahan, tersekat, tak mampu keluar dari leher. Aku toleh, sujudnya lama. Selepas salam, dia tak langsung beranjak. Berdzikir. Kulihat air matanya meleleh .. tersedu sedan. Aku tak tahan melihatnya, ikut meneteskan buliran air mata juga. Istriku kembali ke bangsal terlebih dahulu, sedang aku menunggu sampai menjelang subuh.

Lima menit sebelum adzan subuh berkumandang, aku bergegas meninggalkan mushola. Mau ambil kontak motor di tas. Kulihat istriku tertidur lelap. Betul2 terlelap, tak seperti tidur beberapa jam lalu yg selalu resah. Sengaja aku tak bangunkan meski sudah terdengar adzan subuh. Aku biarkan dia istirahat. Biar kubangunkan nanti setibaku dari masjid.

Jam 7 istriku diperiksa. Kali ini sudah ditangani oleh Bidan Arik yang menggantikan shift Bidan Nia. Bidan Arik ini dulu yang membantu persalinan Harits, anak kedua kami. Ternyata sampai jam 7 bukaan masih 4. Mau tidak mau tindakan drip harus segera dilaksanakan.

Infus terpasang. Aku menunggui istri di sebelahnya sambil tak henti2nya lisan ini berdzikir. Aku membaca Al Quran dari ponsel. Kadang aku berhenti membaca Al Quran, sekedar ngobrol dan bergurau dengan istri. Dengan harapan dia bisa tenang menghadapi persalinan. Jam 8.30 aku minta ijin sholat dhuha ke mushola. Aku tinggal istri sendirian di kamar bersalin.

Ketika balik lagi ke kamar bersalin, istri memberitahukan bahwa ketuban sudah pecah. Segera aku hubungi ibu mertua. O ya, di klinik Aisyah ini laki2 (meskipun itu suami) tidak boleh mendampingi persalinan istri.

13403252611553972012
13403252611553972012

Begitu ibu datang, aku balik lagi ke mushola. Berdoa habis2an demi kelancaran persalinan anakku. Aku berpesan pada bapak mertua, kalau ada apa2 jemput aku di mushola. Jam 10.15 bapak menjemputku dengan tergopoh2.

Segera aku masuk ruang bersalin. Aku lihat istriku mengerang menahan sakit sambil berpegangan pada ibu mertua. Yang aneh, bidannya tidak ada ! Segera aku keluar. Dan aku berpapasan dengan Bidan Arik tepat di depan pintu kamar bersalin.

“Mbak, tolong istriku kayanya sudah mau melahirkan”, aku setengah berteriak pada Bidan Arik.

(belakangan aku dikasih tahu, ternyata bidan memperkirakan anakku lahir tak secepat itu. Makanya beliau berani meninggalkan istriku di kamar bersalin).

Tepat jam 10.30 anakku lahir. Alhamdulillah, semua dimudahkan oleh-NYA. Segala puji hanya untuk-MU Yaa Robb …

NB : nama bidan bukanlah nama sebenarnya ….

Hayyan

Selesai ditulis di Surabaya, 1 Sya’ban 1433 H/ 21 Juni 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun