Semalam aku bermimpi, lalu bagaimana dengan kamu? Apakah juga mimpi? Kemudian bagaimana mimpimu? Indah, sedih, lucu atau bahkan gila-gilaan? Itulah mungkin gambaran awal kita tentang mimpi, yaitu dia mampu memberikan efek yang berbeda. Mungkin efeknya kita alami saat itu juga ketika kita sedang tidur, akan tetapi efek-efek itu bisa juga kita rasakan saat kita bangun. Entah itu dengan senyum di bibir, air mata, atau bahkan yang lainnya. Sangat beragam memang, tetapi itulah gambaran umum tentang mimpi.
Sudahkah definisi seperti itu memberikan gambaran kepada kita tentang apa sebenarnya tentang mimpi. Tentu saja tidak. Karena banyak diantara kita yang masih memandang bahwa mimpi merupakan sesuatu yang sulit didefinisikan secara pasti karena sifatnya yang non ilmiah, non rasional, dan tentu saja absurd.
Mungkin hal seperti muncul karena efek dari ilmu dan teknologi yang mencoba untuk bersifat ilmiah dan rasional, tentu saja. Tetapi jika kita mau melihat apa yang dilakukan orang-orang dahulu yang memandang bahwa mimpi merupakan hal yang sangat penting bahkan bersifat sakral dan suci adalah suatu ironi tersendiri. Saat Alexander The Great melakukan ekspansi ke negeri-negeri yang jauh dia selalu membawa seorang peramal mimpi yang mampu memberikan tafsir mimpi yang dialami oleh Alexander, seperti yang terjadi saat dia akan menyerbu Tyre yang beberapa kali gagal hingga suatu hari dia bermimpi pasukannya mampu menaklukan daerah tersebut. Mimpi itu diceritakan kepada peramal mimpi dan mengatakan bahwa Alexander akan mendapatkan kemenangan jika sekali lagi menyerbu daerah itu. Dan akhirnya karena adanya hal itu Alexander mampu merebut daerah Tyre dengan sukses.
Contoh seperti di atas mungkin dapat memberikan suntikan psikologis kepada Alexander sehingga dia akan mengerahkan segala kekuatannya sehingga dapat meraih kemenangan. Di saat yang lain mungkin banyak yang terjadi di daerah-daerah kita yang masih berpusat pada tafsir mimpi sehingga menjadi semacam azimat yang harus dijaga. Itu dulu, sekarang keadaannya sudah berbeda, di mana mimpi hanya sekedar menjadi ramalan bagi orang-orang yang ingin mendapatkan lotere. Sangat ironis.
Mimpi secara pasti adalah batas antara tidur dan bangun di mana keduanya akan sama-sama memerlukan kerja mental kita. Dan mimpi-mimpi ini timbul karena adanya kejadian atau peristiwa yang kita alami saat kita beraktifitas, sehingga berbagai kejadian ini memberikan bekas dalam diri kita. Tertekan, frustasi, gembira, bahagia merupakan contoh dari efek kejadian itu, bisa jadi efek itu over dosis sehingga bisa dikatakan kita menjadi “gila” karenanya.
Efek “kegilaan” inilah yang mampu memberikan mimpi saat tidur, karena tidur adalah sebuah garasi bagi mental fisik kita untuk diperbaikai karena telah mengalami banyak tekanan. Mimpi ini bisa dikatakan sebagai cermin dari kejadian yang diterima mental kita saat beraktifitas, hal ini bisa terjadi karena mimpi dan kejadian saat kita beraktifitas di dunia nyata sama-sama memerlukan mental. Sehingga dari mimpi-mimpi ini kita bisa mendiagnosa penyakit yang diderita oleh misalnya seorang “pasien” kita.
Hal ini tentu bisa kita lakukan dengan sekedar mendengarkan cerita “pasien” kita saat sadar dan terputus dari mimpi-mimpinya. Dengan kata lain mimpi ini bisa menjadi semacam terapi kejiwaan yang diharapkan mampu memberikan gambaran yang jelas tentang solusi apa saja yang diperlukan bagi si “pasien”. Lalu bagaimana jika kita selalu mimpi basah, apakah berarti kita selalu berotak mesum? Tentu masalah ini akan saya serahkan tafsirannya kepada para pembaca yang budiman sekalian. Heheheh.
Yogyakarta, 11 Juli 2011.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H