Mohon tunggu...
Hayyan Khun
Hayyan Khun Mohon Tunggu... -

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, yang kangen tahun 2012.....(kira-kira kiamat g ya...)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jembatan Merah

1 Juli 2011   12:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:01 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13095249152058017642

“Jadi nonton bola ke Palembang?” Pertanyaan inilah pertama kali kudengar hari ini. Sudah berulang kali dia memberiku pertanyaan macam begini, kalau kuhitung-hitung sudah genap 50 kali sejak di TV menampilkan jadwal Sriwijaya FC Vs Arema Malang.

“Jadi, emang kenapa?”

“Berarti kita bolos lagi kan?” Seakan tanpa puas, dia mencoba memberi kepastian.

“Ya, kita bolos kuliah lagi. Kita setidaknya masih bisa ikut ujian kan minggu depan.?”

***

Sudah sekitar duapuluh menitan aku dan Dini menunggu. Bukan menunggu, tapi sekedar meregangkan otot setelah mendarat di bandara.

“Ayo ke jembatan merah dulu.”

“Eh mau kemana Nur.?”

“Jembatan merah.”

“Eh nggak beli tiket dulu. Kan besok pertandingannya.?”

“Ntaran aja, masih ada waktu kok. Besok juga bisa.”

Kami hanya diam satu sama lain, aku tahu Dini cinta mati sama Sriwijaya FC. Buktinya kami saat ini sudah jauh dari kampung halaman hanya sekedar nonton Feri Rotinsulu Cs.

Deretan rumah seperti ular yang menunggu mangsanya berjejeran sepanjang jalan, dari kejauhan terlihat tiang merah jembatan itu. Tampak angkuh dan anggun sekaligus, sebuah melodi keramah-tamahan khas Indonesia.

“Mau berhenti dulu Din, laper nih. Makan dulu yah...?” memang sejak dari Jogja tadi aku hanya makan gorengan lima biji plus es teh dan rokok. Beda dengan Dini yang sejak pagi sudah sarapan sepiring penuh nasi dan gudek dan juga beberapa gorengan, bahkan dia masih menyimpan bekal untuk di bawa ke Palembang.

“Berhenti kemana lagi Nur?”

“Itu di toko depan, kelihatannya ada yang jual empek-empek.” Memang beberapa meter terlihat warung cukup besar yang penuh sesak pembeli. Dan langsung sopir taksir ku suruh berhenti dan menunggu kami makan.

“Nggak mahal kan argonya.?” Aku langsung bertanya pada si sopir, siapa tahu nanti argonya melonjak.

“Nggak Den, santai aja.” Jawab sopir sekenannya, yang aku tebak bukan asli penduduk sini.

“Bapak asli mana?”

“Kediri.”

“O......”

Langsung aku dan Dini masuk ke warung dan memesan tiga porsi empek-empek. Dua untukku dan satu untuk Dini. Seperti di dalam taksi, Dini dan aku hanya diam tanpa kata, sebagai gantinnya hanya piring dan sendokku yang terus berbunyi.

“Enggak di habiskan Din empek-empekmu.?”

“Ini kuhabiskan.” Dini langsung melahap habis potongan terkahir.

“Kapan kita ke stadion Nur?” Tanya Dini langsung setelah membayar di kasir warung.

“Ya Din sebentar, kita jembatan merah dulu baru kemudian kita beli tiket ke stadion dan cari penginapan. Mau malam ini kita tidur di emperan toko?”

“Enggak.”

Setelah menyelesaikan perdebatan kecil, kami langsung masuk taksi dan menuju ke jembatan merah. Taksi melaju seperti biasanya. Aku buka jendela taksi dan kurasakan hembusan sungai Musi yang penuh sesak dengan perahu-perahu tradisional milik penduduk lokal. Aku mencoba melirik sedikit ke Dini yang keadaannya masih terlihat sama. Diam dan tanpa kata. Di matanya entah apa tidak bisa aku pahami sedikitpun. Kami memang tidak pacaran meskipun telah lama menjali hubungan sebagai sahabat, sehingga tidak heran aku merasa setiap dia mengalami sesuatu hal aku dapat menebak apa yang terjadi dan mencoba memberikan solusi. Meskipun tidak selalu berhasil. Tapi satu hal yang perlu dicatat, biasanya aku mampu menebak setiap keadaan dari pandangan matanya.

Perlahan taksi mulai berhenti, aku tengok kanan-kiri tidak ada apa-apa dan kami belum di atas jembatan merah.

“Kenapa pak, kok berhenti?”

“Bocor Den.” Kami disuruh turun dan kukeluarkan barang-barang miliki kami. Aku berinisiatif untuk berjalan kaki saja, karena jembatan merah sudah dekat.

“Ayo Din.” Ku gandeng tangan Dini.

“Copet...copet...” Dini langsung menjerit keras sambil melepas pegangan tanganku dan lari mengejar copet. Tidak membutuhkan waktu lama pengejaran langsung berhenti. Dompet lenyap dan Dini diam tanpa kata seperti biasa.

Yogyakarta, 01 Juli 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun