Mohon tunggu...
Hayati Rizki Putri
Hayati Rizki Putri Mohon Tunggu... -

Saya menemukan kedamaian dalam kesibukan. twitter: hayputrii

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Papa Mama, Percayai Kita

6 Oktober 2013   01:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:56 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebagian besar dari mereka hanya peduli dengan isi otakku. Mereka lupa. Bahwa aku juga punya hati. Punya keinginan untuk dimengerti.

Namun, sudah lama sejak aku diajarkan untuk tidak banyak punya keinginan. Situasi ekonomi keluarga yang hanya cukup untuk menyewa rumah membuatku tidak mengenal banyak mainan anak-anak sewaktu kecil. Daripada boneka, papa dan mama lebih memilih membelikanku buku.

Kemudian aku kecanduan. Setiap papa pulang dari kota dan tidak membelikanku majalah bobo, aku akan menangis diam-diam di kamar.

Selain diajarkan untuk tidak memiliki keinginan. Aku juga diajarkan untuk tidak menunjukkan perasaan. Aku lebih banyak menangis sambil menahan suara. Terkadang jika aku benar-benar kesal, aku akan menyakiti diriku sendiri. Sesuatu yang pernah dipergoki mamah dan membuatku biru-biru setelah ia melupakan kekesalannya dengan mencubitku.

Ia kesal aku tidak menghargai diriku. Ia kesal karena aku tidak mengerti bahwa ia mencintaiku. *maafkan Putri mama…*

Mungkin karena di besarkan dalam tulisan, aku menyukai membaca. Dan seperti kata orang, buku adalah jendela dunia. Aku memahami lebih cepat di banding teman-teman di lingkunganku. Walaupun di sisi lain kemampuan sosialisasiku terhambat karena aku tidak diizinkan untuk berteman lama-lama. Karena mama terlalu menyayangiku. Beliau tidak ingin aku di luar rumah lama-lama.

Itu membuat kedekatanku dengan buku bertambah lekat. Kami baru punya televisi saat aku kelas dua SD. Itu juga tidak boleh menonton setelah magrib. Mungkin aku hanya menonton tidak lebih dari setengah jam sehari. Saat itu, aku kesal.

Kekesalan itu tidak berguna, karena kini yang ada hanya syukur.

Kini didikan orang tuaku itu membentuk kepribadianku. Membentuk diriku yang sekarang. Semua keterbatasan yang kami miliki dulu, kini membuatku percaya bahwa aku bisa meraih lebih dari apa yang di ekspektasikan. Lebih daripada apa yang di anggap orang remeh. Yang di anggap orang tidak bisa aku raih.

Anak kampung yang tidak pandai bergaul itu kini tengah menjejaki usia dua puluhan. Saat di mana dia bukan lagi anak kecil yang menyukai boneka berbie yang tidak pernah ia miliki. Bukan lagi anak kecil yang berharap bisa memakai sepatu yang ada lampunya dan bisa menyala-nyala. *walaupun kadang aku masih terhenyak beberapa detik jika melihat anak kecil mengenakannya. Seperti tersedot di masa lalu, saat aku hanya bisa memandang, tanpa bisa memiliki.*

Memasuki usia dewasa muda ini aku memahami. Jika dulu, papa mama lebih memilih membelikanku mainan dan bukannya buku, mungkin aku tidak akan ada di sini. Dengan keinginan belajar sebesar ini. Jika dulu mereka membiarkanku menonton televisi lebih dari setengah jam sehari mungkin aku tidak akan seperti ada di sini. Dengan hasrat yang lebih besar untuk berkarya dibandingkan menikmati. Jika dulu kami serba ada seperti saat ini, dengan semua kebutuhan terpenuhi, mungkin aku tidak akan seperti ini. Tumbuh dengan hasrat yang tinggi untuk berbagi dan memberi lebih banyak dari yang diminta.

Masa kecilku penuh keprihatinan. Dan ada lebih banyak lagi anak-anak sepertiku. Yang jauh lebih menyedihkan. Yang hidup di jalan-jalan. Tanpa mengenal kasih sayang. Yang hidup di rumah mewah. Juga tanpa mengenal bentukan rasa kasih dari orang tuanya.

Namun, semua keprihatinan itu menempa. Ia adalah bara api yang menajamkan. Melalui buku aku mengerti lebih banyak. Mempercayai hal positif. Melihat peluang-peluang. Mengetahui cerita-cerita dengan nilai moral yang lebih mengena di bandingkan yang ada di layar kaca.

Pergaulanku yang terbatas di masa kecil, membuatku harus berusaha lebih keras sekarang. Membuatku mengikuti organisasi lebih giat. Agar aku bisa mengenal orang-orang. Membaca sifat-sifat. Memahami kenyataan lebih banyak.

Kekuranganku dulu sudah di tambal. Walaupun lama dan tidak mudah, tapi aku menikmatinya. Sekarang, aku mulai belajar mengelola emosi intra personal. Membuat hubungan yang baik dalam pertemanan tanpa ada emosi yang menekan dan penuh dengan kekeluargaan yang menyejukkan.

Dan anak kecil yang dulu main masak-masakkan di halaman rumahnya sendirian, dengan tanah sebagai nasi, dan daun bunga sepatu sebagai sayur itu hari ini belajar sesuatu yang baru. Ia belajar membuat simpul dalam surgery. Dan hasrat baru muncul. Mimpi-mimpi barunya hadir.

Ia perlu dicontohkan puluhan kali sebelum bisa melakukan granny knot dan square knot dengan cepat dan terampil. Ia harus berusaha lebih keras daripada yang lain. Tapi ia senang. Ia melakukannya dengan kegembiraan. Dan ia rasa ia sudah menemukan mimpi-mimpinya di mimpi-mimpi orang tuanya. Dia ingin menjadi dokter bedah.

Ada banyak yang menyansikan. Ada banyak yang menaruh harapan. Ia sudah terbiasa. Kehidupan serba kurang membuatnya punya kelebihan di sisi lain. Ia tidak mudah berhenti hanya karena lelah. Ia tidak mudah berhenti hanya karena suara kalah. Ia menolak sudah, meski susah.

Itu semua karena papa mamanya. Yang menolak menyerah meski hidup sulit di masa lalu. Yang menolak pasrah meski yang lain mengajak lemah.

Banyak anak yang kukenal, yang punya potensi jauh di atasku. Potensi materi, kemampuan fisik, kecerdasan, dan banyak kelebihan lain. Namun mereka menolak untuk percaya pada diri mereka. Sehingga apa yang mereka miliki terabaikan begitu saja.

Mungkin banyak faktor lain, tapi mungkin salah satunya ini.

Papa mama mereka tidak mempercayai mereka sebanyak yang mereka butuhkan.

Hanya jika papa mama tidak mempercayaiku dulu, mungkin aku tidak bisa percaya bahwa sekarang aku bisa.

Papa mama percaya, dan aku percaya aku bisa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun