Hari sabtu kemarin, saya sengaja mengunjungi keraton ngayogyakarta, awalnya saya hanya tertarik datang kesana karena nuansa nostalgia, kerinduan akan momen ini sedikit terobati sekaligus kaget karena apa yang ada disana tidak se-wah seperti yang pernah saya lihat dulu, dulu saat saya datang dengan adik saya semuanya begitu terjaga, begitu terawat, begitu unik, berkali kali kita mengunjungi dan sepertinya tetap menarik, tetapi kemarin semuanya begitu aneh, membuat saya tercengang, bangunan yang dari jauh sangat indah dan megah tersebut seperti di telan zaman, sepertinya ada yang kurang, awalnya saya mengira ini berbeda karena tidak ada adik saya, tetapi lama kelamaan, sepertinya memang ada yang salah, entah, apakah karena situasi sekitar keraton memanas?, karena pengunjungnya tidak seramai dulu? Atau karena banyak oknum yang membuatnya tidak seperti dulu?
Semakin dalam saya menjelajah dibalik dinding ini, semakin saya terlarut, sejarah memang tidak akan berubah, pecinta sejarah pun tidak akan bertahan dalam suatu state yang menjemukan, jadi memang benar dalih teman saya yang saya ajak mengelilingi tempat yang menjadikan kota ini kota istimewa, dia berkata coba saja sejarah dapat berbicara, kita butuh metode baru untuk mempelajari sejarah
Lalu bagaimana dengan kebudayaan, bukankah kebudayaan sudah mempunyai metode baru untuk menarik anak muda yang akan menjadi generasi penerusnya? Informasi? Ada google kok, tempat mempelajari lebih dalam? Banyak sanggar juga kok di kota ini, lantas apa? Lagi lagi teman saya berdalih, semua kembali kepada orangnya, hmmm jelas sudah generasi wacana, saat semua fasilitas sudah ada, tetapi tidak ada gerakan, lalu apalagi yang salah kalau bukan oknum atau subjectnya
Awalnya saya juga setuju kalau memang tergantung orangnya, tetapi pandangan konstruktivisme mengganggu saya, bukankah kesukaan atau ketidaksukaan terjadi karena banyak faktor? Jika membahas masalah konstruk, lalu apa yang kurang? Apa yang salah dengan generasi ini Tuhan? Konstruk macam apa yang harus di terapkan untuk tetap mewariskan budaya? Akankah selfie atau hal kekinian tersebut menjadi budaya?
Budaya, lahir dari masyarakat, di kembangkan oleh zaman, dan “harusnya” di budayakan oleh masyarakat, apakah budaya seperti ilmu eksak? Ada rumus baru kita pakai yang baru, bukankan budaya termasuk kepada sosial? Dimana yang lama akan menjadi bahan untuk yang baru?
Baru mengajak satu teman saja sudah banyak yang aku tarik dari pemikirannya, benar memang pak pepih nugraha berkata, ibu pertiwi memanggilmu pulang, kalau di tarik lebih lanjut, dapat di persepsikan untuk menarik kembali para pemuda untuk lebih menyadari ke”indonesiaan” mereka, lebih mencintai negara mereka
Asik juga kali ya kebiasaan selfie atau apalah yang anak “hitz” lakukan itu jika menjadi kebudayaan, kebudayaan kita menjadi kaya bukan? Mungkin akan disebut sebagai kebudayaan abad 20, dimana yang penting gambar dan anglenya bukan isinya, memang ada kisah di dalamnya #keraton jogjakarta #bareng pacar #belajar sejarah tapi “kisah” yang mereka maksud adalah tentang mereka, bukan apa yang mereka pelajari di dalamnya
Memang, jaman sekarang semua orang bisa menjadi pahlawan, bisa menjadi motivator, bisa menjadi apapun yang diinginkannya, tidak ada batasan atau otonomi, hmmm, berarti kita kembali ke masa dimana satu obat bisa menyembuhkan sejuta penyakit, okelah kalau begitu, ayok di beli obat sakti penyembuh kangker, asma, aids, dan penyembuh gila tugas makul jurnalistik yeahhh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H