Teknologi otomotif sedang mengalami perkembangan dengan perlahan mengganti kendaraan yang sebelumnya bisa beroperasi dengan menggunakan bahan bakar minyak, kini mulai mulai bermunculan kendaraan dengan teknologi terbaru dan di operasikan menggunakan tenaga listrik.
Tesla muncul dengan mobil listriknya dan membuat banyak orang terkagum dengan teknologi tersebut, kemudian disusul oleh pabrikan dan merek lain yang kini tengah berlomba-lomba mengembangkan teknologi pada mobil listriknya. Hampir seluruh pabrikan kendaraan roda 4 sudah memiliki mobil listriknya masing-masing, seperti Hyundai dengan Kona elektrik dan Ioniq 5, kemudian Kia EV 6, Toyota BZ4X, Wuling Air EV, dan lain sebagainya.
Lantas seberapa efektif mobil listrik jika di bandingkan dengan mobil konvensional dengan bahan bakan minyak?
Secara sederhana, mobil listrik memang dapat dianggap lebih ramah terhadap lingkungan, sebab sesuai dengan namanya, mobil listrik dapat dioperasikan tanpa bahan bakar minyak yang berasal dari perut bumi. Hal ini tentu bisa membantu menyelamatkan bumi dari penambangan secara masif untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Selain itu, mobil listrik memiliki keunggulan lain karena tidak menghasilkan gas buang yang berbahaya jika terhirup oleh paru-paru dan sekaligus berbahaya bagi atmosfir bumi. Jika polusi yang ditimbulkan oleh asap kendaraan konvensional dihirup secara berlebihan, dampak yang dapat diterima oleh tubuh akan sangat buruk mulai dari iritasi hingga dapat menyebabkan kanker.
Maka kemunculan dari mobil listrik dianggap menjadi solusi dalam upaya pengurangan dampak pencemaran lingkungan akibat asap dari gas buang yang dihasilkan kendaraan konvensional. Bahkan Kementerian Perindustrian pun membenarkan bahwa mobil listrik mampu menghemat energi hingga 80%, dan berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang salah satunya berasal dari asap kendaraan konvensional.
Namun jika kita bandingkan antar mobil listrik dengan mobil konvensional, kebanyakan masyarakat masih belum terlalu tertarik dengan mobil listrik. Pasalnya pengetahuan tentang bagaimana cara merawat kendaraan listrik tersebut masih kurang, ditambah dengan iklim di Indonesia yang terkadang bisa menyebabkan banjir menimbulkan kekhawatiran akan terjadi konsleting pada mobil listrik. Dan yang menjadi faktor utama adalah harga dari mobil listrik yang saat ini terbilang masih terlalu tinggi. Untuk Wuling Air EV saja dibanderol dengan kisaran harga 250 sampai 300 Juta Rupiah, meskipun memang teknologi yang ditawarkan berlimpah, tetapi untuk sebagian orang harga tersebut terlalu mahal untuk sebuah mobil kecil.
Kemudian alat penyimpan daya kendaraan listrik berupa baterai yang digunakan berbahan dasar Nikel dan Lithium. Indonesia memang terkenal sebagai salah satu negara penghasil Nikel terbesar di dunia, dan baterai dari mobil listrik saat ini memang diklaim mampu bertahan lebih dari 5 tahun pemakaian. Dan biaya yang diperlukan untuk memperbaiki atau bahkan mengganti baterai tersebut juga tidak murah. Dan setelah baterai diganti, baterai lama harus ditangani dengan sebaik mungkin, tidak bisa dibuang sembarangan dan harus diolah sebaik mungkin agar tidak menimbulkan dampak yang tidak kalah membahayakan dari asap kendaraan konvensional.
Jadi kesimpulannya menurut penulis adalah Indonesia belum terlalu siap untuk mengembangkan teknologi terbaru ini, dan berharap bahwa dalam beberapa tahun kedepan perkembangan teknologi ini bisa dikelola dengan lebih baik sehingga harganya turun, hehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H