Meskipun menawarkan berbagai manfaat, pinjaman online juga memiliki sejumlah risiko dan potensi bahaya yang perlu diperhatikan oleh calon peminjam. Beberapa risiko utama dari pinjaman online antara lain:
Suku Bunga yang Tinggi Salah satu kekhawatiran utama terkait pinjaman online adalah tingkat bunga yang tinggi. Suku bunga yang dibebankan oleh banyak penyedia pinjaman online jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pinjaman bank tradisional. Selain itu, beberapa platform juga mengenakan biaya administrasi yang tidak transparan, yang dapat membuat total pinjaman semakin membengkak.
Jangka Waktu Pembayaran yang Pendek Pinjaman online umumnya memiliki jangka waktu pembayaran yang lebih pendek, mulai dari beberapa hari hingga beberapa bulan. Ini berarti bahwa peminjam harus membayar kembali pinjaman mereka dalam waktu yang relatif singkat. Jika peminjam tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran tepat waktu, mereka akan dikenakan denda keterlambatan yang dapat semakin memperburuk kondisi keuangan mereka.
Risiko Terjebak Utang Salah satu masalah besar yang sering muncul dengan pinjaman online adalah potensi terjebak dalam utang. Karena mudahnya akses terhadap pinjaman, banyak orang yang terjebak dalam siklus utang berulang, di mana mereka terpaksa meminjam lebih banyak untuk melunasi utang sebelumnya. Hal ini dapat menyebabkan beban finansial yang berat bagi peminjam, terutama jika mereka tidak memiliki rencana pembayaran yang jelas.
Praktik Penagihan yang Agresif Beberapa penyedia pinjaman online terlibat dalam praktik penagihan yang agresif, termasuk ancaman dan intimidasi terhadap peminjam yang gagal membayar utang mereka tepat waktu. Meskipun OJK telah mengatur dan mengawasi praktik pinjaman online, masih banyak platform yang tidak terdaftar dan melakukan penagihan dengan cara yang tidak etis. Praktik ini dapat menciptakan tekanan emosional bagi peminjam, yang memperburuk situasi mereka.
Keamanan Data Pribadi Karena pinjaman online melibatkan data pribadi yang sensitif, ada risiko terkait dengan pencurian data dan penyalahgunaan informasi. Beberapa platform pinjaman online yang tidak terdaftar atau tidak diatur dengan baik dapat mengekspos data pribadi peminjam kepada pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab.
Regulasi Pinjaman Online di Indonesia
Pemerintah Indonesia melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan berbagai regulasi untuk mengatur pinjaman online dan memastikan perlindungan bagi konsumen. Salah satu regulasi penting adalah Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, yang mengharuskan semua platform pinjaman online untuk terdaftar dan diawasi oleh OJK. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa penyedia pinjaman online memenuhi standar yang ditetapkan oleh OJK dan tidak melibatkan praktik yang merugikan peminjam.
Namun, meskipun ada regulasi tersebut, masih banyak platform pinjaman online yang tidak terdaftar di OJK, yang beroperasi di luar pengawasan dan sering kali melibatkan praktik yang merugikan konsumen. Oleh karena itu, masyarakat perlu berhati-hati dalam memilih penyedia pinjaman online dan memastikan bahwa mereka hanya menggunakan platform yang terdaftar di OJK untuk menghindari potensi masalah.
STUDI KASUS PINJAMAN ONLINE
Denpasar - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan temuan mengejutkan saat mengaudit kerugian PT Indofarma Tbk dan anak usahanya. BUMN farmasi itu ternyata terjerat pinjaman online alias pinjol.
Temuan tersebut dilaporkan BPK kepada DPR, bersama sejumlah temuan lain terkait aktivitas Indofarma dan anak usahanya, PT IGM, yang menyebabkan perusahaan farmasi itu fraud atau rugi. Laporan itu tertuang dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2023 oleh BPK ke DPR, Kamis (6/6/2024).
Dilansir dari detikFinance, ada sejumlah aktivitas yang menyebabkan Indofarma merugi. Aktivitas-aktivitas yang dimaksud antara lain melakukan transaksi jual-beli fiktif, menempatkan dana deposito atas nama pribadi pada Koperasi Simpan Pinjam Nusantara, melakukan kerja sama pengadaan alat kesehatan tanpa studi kelayakan dan penjualan tanpa analisa kemampuan keuangan customer, hingga melakukan pinjaman online alias pinjol.
Permasalahan tersebut mengakibatkan indikasi kerugian sebesar Rp 294,77 miliar dan potensi kerugian sebesar Rp 164,83 miliar, yang terdiri dari piutang macet sebesar Rp 122,93 miliar, persediaan yang tidak dapat terjual sebesar Rp 23,64 miliar, dan beban pajak dari penjualan fiktif FMCG sebesar Rp 18,26 miliar.
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada direksi Indofarma agar melaporkan ke pemegang saham atas pengadaan dan penjualan alat kesehatan teleCTG, masker, PCR, rapid test (panbio), dan isolation transportation yang mengakibatkan indikasi kerugian sebesar Rp 16,35 miliar dan potensi kerugian sebesar Rp 146,57 miliar.
Indofarma juga diminta berkoordinasi dengan pemegang saham dan Kementerian BUMN untuk melaporkan permasalahan perusahaan dan anak perusahaan kepada aparat penegak hukum, dan mengupayakan penagihan piutang macet senilai Rp 122,93 miliar.
Indofarma memang terlihat sedang mengalami masalah keuangan. Pada April kemarin, Indofarma bahkan menunggak pembayaran gaji para karyawan untuk periode Maret 2024. Hal itu disebabkan oleh adanya putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).