Happiness (kebahagiaan) adalah salah satu kata yang memiliki definisi bermacam-macam. Menurut KBBI sendiri, kebahagiaan diartikan sebagai suatu keadaan pikiran atau perasaan kesenangan, ketentraman hidup secara lahir dan batin. Banyaknya definisi tentang kebahagiaan karena banyaknya parameter yang digunakan sebagai penunjuk arti bahagia.
Dan ketika kita menyusun paramater bahagia dengan list yang panjang atau poin-poin yang banyak maka sesungguhnya kita sedang menyusahkan diri untuk bahagia serta mempersempit arti kebahagiaan itu sendiri. Apalagi jika parameter yang disusun didominasi oleh kesenangan-kesenangan yang bersifat duniawi, misalnya kaya raya, populer, memiliki jabatan tinggi, bisa keliling dunia, kuliner enak dan lain-lain.
Padahal Kebahagiaan yang konkret diantaranya justru seperti yg diingatkan oleh baginda Nabi :
مَنْ أصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا في سربِهِ، مُعَافَىً في جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا
" Siapa di antara kalian yang berada di waktu pagi dalam keadaan aman di tempat tinggalnya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan seluruh dunia ini telah diberikan kepadanya."
Hadis di atas menyadarkan mindset kita tentang konsep sederhana untuk mengenggam kebahagiaan. Tetapi seringkali kita sulit merasa bahagia karena ber-ekspektasi lebih, selalu dibuat cemas oleh masa depan serta lupa bersyukur dengan nikmat yg dirasa dan apa yang dipunya. Gempuran hedonisme membuat jiwa kita meronta-meronta ingin mendapatkan dan memiliki sesuatu yang lebih. Nafsu duniawi kita membuat tak pernah merasa terpuaskan. Sudah memiliki uang 1 juta, kita ingin 2 juta bahkan lebih banyak. Hidup selalu diburu oleh harapan-harapan yang tak jelas dan belum tentu didapatkan.
Kesadaran untuk mau dan selalu bersyukur tertutup oleh nafsu keserakahan yang lebih diutamakan dengan alasan mumpung hidup di dunia maka kejarlah segala yang disediakan dunia sehingga pelan tapi pasti kita lupa tujuan hidup yang sesungguhnya. Kita terlena hingga kehilangan kesadaran bahwa di dunia kita tak ubahnya hanya seperti musafir yang sebentar berteduh di bawah pohon lalu kembali berjalan menuju tempat tujuan akhir kehidupan. Betapa sering kita melupakan kesadaran primordial "innaa lillaah wa innaa ilaihi rooji'uun" (sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya lagi kita kembali).
Hadis Nabi di atas mengingatkan kita untuk bersikap realistis. Seseorang yang realistis bukan berarti tak memiliki target yang ingin diraih. Ia tetap dinamis menjalani hidup tanpa harus terbebani mimpi-mimpi yang menjulang tinggi. Target hidup yang dimiliki hanya sebatas sebagai motivasi agar gerak langkah hidupnya tidak stagnan. Bagi seorang salik atau hamba, realitas yang akan datang tak ubahnya sebagai tugas yang harus diselesaikan setelah ia telah mendapatkan dan menikmati hasil proses hari ini saja. Wallahu a'lam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI