Rintik hujan semakin kurasakan membasahi tubuh ku. Sedikit demi sedikit mulai melebur merasuk ke sanubari yang sedang mengepul dengan hebatnya. Asap bencana di provinsi RIAU sana pun telah terkalahkan oleh kepulan hati ku. Sanubari ku melebur dengan indahnya dalam deraian airmata yang menyatu dengan derasnya hujan. Entah mana hujan entah mana airmataku keduanya telah menyatu. Hatiku membasah kedinginan kelam dan berawan dikarenakan cinta yang takmemberikan pengharapan, sementara harapanku begitu besar kepadanya. Entahlah sampai bila ku harus terus kehilangan dan berharap. Kuseka airmataku dengan buliran air hujan ini, dengan hembusan angin dan deruan kereta yang kencang melesat.
Riuh katak berdendang memkak kan telingaku seolah ingin menghibur kegalauan malam ini. Hanya saja disayang kan nyanyian mereka tak sedikitpun ku gubris, rasanya konsentrasiku saat ini hanya terfoku pada pujangga yang menoreh luka di hati ku ini. aku merintih dan menagis pilu dalam kesenduan yang teramat, bagai laila yang mendamba mjenun. Logikaku mengatakan inni terlalu lebai namun hatiku meronta tak ingin lagi ceria sesedia kala. Rasanya aku telah benar jenuh dalam bercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H