melati:
hari ini, kucabik sepotong nurani kukunyah ia dengan getir. sementara mataku memerah, oleh gemuruh di dada yang menjilati hierarki dan otoritas dengan jijik. Maka makilah aku karenanya!
malaikat kecil:
tak perlu memaki, kawan. kunyah dengan nikmat, rasakan racunnya menjalari tubuh. karena membuatmu semakin menyembah apa yang dinamakan MERDEKA. dan besok, kembali melangkah dengan tekad tembok itu harus runtuh. makilah tembok itu, bukan diri.
~
seperti dongeng yang mengurai dari lipatan-lipatan sayapmu yang melengkungi ruah derap kaki-kaki kita, maka merah adalah semangat yang kau bakar bersama kata merdeka. oh, terlampau capai kita disuapi oleh cinta yang beranak dari potongan-potongan nurani yang terjual. kita memang merindukan sesuatu yang sesederhana sebuah rumah: ketika hati bertumbuhan dari tanah yang mengembun di halaman depan, kelingking-kelingking saling mengait di secangkir kopi, percakapan tentang senja adalah tawa petani dan buruh yang menanti nasi panas mengepul dengan lauk potongan besar daging dan sambal. mungkin juga seperti malam, yang dirayakan dengan kemenangan pembenaran. tidak ada yang mesti dijual. dan kapitalisme, adalah semacam kosa kata yang hanya dapat dibaca di buku-buku pelajaran sekolah.
sampai saatnya nanti, sampai saatnya nanti..
akan kita mulai cerita ini dengan mimpi..
~
-hawun-
si pemimpi yang sedang bersedih