Hubungan antara Islam dan muslimin generasi pertama dengan peperangan, pertikaian bersenjata, dan penggunaan peralatan senjata adalah sesuatu yang perlu penjelasan lebih lanjut.
Generasi muslimin pertama menjalani kehidupan mereka di Makkah selama tigabelas tahun dalam keadaan lemah. Maka wajarlah jika peperangan merupakan sesuatu yang tidak mungkin ada dalam penugasan Allah Ta'ala kepada Nabi-Nya dan kepada orang-orang yang beriman pada periode pra hijrah dari Makkah ke Madinah. Ayat-ayat Makkiyyah menjadi saksi atas itu.
Dalam surat Al Mu'minuun ayat 96, Allah Ta'ala berfirman: {Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan}.
Maksudnya: Perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan kaum musyrikin yang tidak baik hendaklah dihadapi oleh Nabi dengan yang baik, seumpama dengan memaafkannya.
Bahkan di Madinah pasca hijrah dan pada permulaan berdirinya masyarakat Islam, seluruh ayat-ayat Al Qur'an Al Karim memastikan perlunya jihad tanpa perang dalam kaitannya dengan perseteruan antara orang-orang yang beriman dan orang-orang musyrikin.
Dengan demikian Islam menjadi sebuah entitas berbeda, yang menjadikan Madinah sebagai tempat vital yang penduduknya bebas berdakwah kepada agama yang baru.
Dalam suasana seperti itu dan walau tahap "lemah" bagi kaum muslimin telah berakhir, kita dapati dalam surat Al Muzzammil: 10, Allah Ta'ala berfirman kepada Rasul-Nya: {Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik}.
Bahkan tatkala orang-orang Yahudi melanggar janji-janji mereka dan mengkhianati perjanjian-perjanjian mereka sekalipun, Allah Ta'ala tetap menurunkan firman-Nya dengan ayat {Maka ma'afkanlah mereka dan biarkanlah mereka}, sebagaimana disebut dalam surat Al Maa-idah ayat 13.
Hijrah ke Madinah dan berakhirnya tahap "lemah" kaum muslimin telah disertai oleh suatu perkembangan penting dalam peralatan perang yang diizinkan oleh Allah Ta'ala bagi muslimin melawan musuh-musuh mereka.Â
Dimana dengan peralatan perang dan dengan masyarakat yang mereka dirikan di Madinah, sesungguhnya mereka mampu melewati tahap "memaafkan", "biarkan mereka", dan "berbuat baik kepada mereka". Â Lalu Allah Ta'ala menghalalkan kepada mereka untuk bangkit berperang melawan musuh-musuh mereka dengan memakai peralatan yang lebih canggih.
Kemudian tatkala Rasulullah hijrah dari Makkah ke Madinah, Allah Ta'ala menurunkan firman-Nya dengan ayat-ayat yang berbicara tentang berperang dalam memenangkan yang hak atas yang batil, atas hak orang-orang yang dianiaya yang dikeluarkan dari kampung halaman oleh orang-orang yang menganiaya, sebagaimana dalam surat Al Haaj ayat 38-40.
Namun para ahli tafsir berpendapat bahwa ayat-ayat di atas, yang diturunkan bertepatan waktunya dengan selesainya periode hijrah, sesungguhnya telah memberikan "izin" kepada kaum muslimin untuk "berperang", walau setiap orang yang memperhatikan ayat-ayat tersebut niscaya tidak akan menemui dari ayat-ayat tersebut sesuatu yang lebih dari sekedar "izin" kepada "berperang" melawan musuh.