Namaku Dhona, jawabmu tersipu. Aku ingat setiap detil itu, senyum yang kau tawarkan setengah malu, rambut yang kau sibakkan entah untuk apa, ujung sepatu yang kau ketukkan di lantai tanpa irama, semua gerakanmu salah. Ya, semua sepertinya salah. Mengapa tak tersenyum penuh? Apa guna menyibak rambut ketika tak ada yang menempel pada keningmu? Dan ketukan pada lantai itu… ah… tak bisakah kau buat berirama? Tak harus rapi, minimal berarti sesuatu, mungkin seirama tepuk Pramuka atau apalah, jauh lebih benar rasanya dari pada yang kau lakukan dengan ujung sepatumu pada lantai. Datar
Tapi kuakui kau memang cantik, bahkan pada sikapmu yang serba salah itu, kuakui kau cantik. Dan tahukah kau? Perhatianku yang detil pada semua sikap salahmu adalah upaya terbaik yang bisa kulakukan agar terhindar dari pesonamu. Kau sungguh cantik dan ingin kuingkari itu dengan melihat semua yang salah tentangmu. Aku takut larut. Aku tak pernah sebelumnya dan berharap juga tidak hari ini. Tentu kau tak mengerti mengapa aku setakut ini. Tapi aku mengerti.
Aku membaca sejarah, atau sebutlah roman dari masa lalu. Helen dari Troya, Romeo dan Juliet bahkan Siti Nurbaya dan Syamsul Bachri adalah cerminan cinta sejati yang berujung mati. Ayu Utami pun tak setuju dengan cinta sejati. Kalau setuju, mengapa pula dia matikan si pemanjat tebing itu di Bilangan Fu, padahal Marja telah jatuh hati padanya dan dia pun balas menjatuhkan hati? Atau kisah cinta di film Hollywood itu. Kau pasti pernah nonton Remember Me, tentang seorang pemuda anak orang kaya yang jatuh cinta pada anak seorang Polisi yang pernah menahannya semalam di penjara. Kisah cinta mereka seperti berjalan sempurna, sampai suatu ketika dia, si pemuda ada di tempat yang salah ketika para pembom bunuh diri itu menubruk WTC dan si pemuda mati di lantai tepat di mana teroris itu menabrak. Nah, ini tanyaku, salahkah aku jika takut tersirap pesonamu? Jangan! Jangan salahkan aku, tapi mereka yang menduniakan cerita-cerita keji itu. Maka, pun hari itu, saat pertama aku mendengar kau menyebut namamu di depanku, aku takut aku jatuh cinta padamu meski tak ada yang bisa kuperbuat dengan telapak tanganku yang mulai berkeringat dadaku yang seperti menyesak.
Sebentar, kau tak persis di depanku saat bilang namamu Dhona. Sekitar dua atau tiga meter dari tempatku berdiri. Aku mendengarnya dari jarak itu, saat kau menjawab salah seorang kawanku bertanya. Kau baru di tempat ini, dan aku tak selugas temanku bertanya. Ah… apalah pentingnya bertanya ketika hanya dengan diam semua jawaban yang dibutuhkan hadir dengan rela? Itulah aku, mendengar dan tahu lalu diam dalam khawatir. “Semoga aku tak jatuh cinta pada Dhona,” kataku dalam hati hari itu.Jangan-jangan sampai aku jatuh cinta padamu Dhona, kau tahu ini menyiksaku, lebih perih dari cerita pilu orang-orang perbatasan, lebih menyakitkan dari derita orang-orang kelaparan di ujung timur Indonesia, yang katanya daerah mereka penuh kekayaan, tapi diambil orang-orang serakah.
*** Lalu kaupun tertawa ketika kuceritakan itu padamu, tentang takutku pada kali pertama melihatmu. Dengan renyah kau bicara di sela tawa yang tertahan. “Koq bisa ya, dulu kamu takut jatuh cinta?”
“Sudah ah, ganti topik aja”
“Hihihi… ya sudah….” kau terdiam setelahnya dan kutahu itu tak kan lama, karena sesaat kemudian…
“Eh… tapi koq bisa ya? Hihihi… tapi sekarang udah gak takut lagi kan?”
“Hmmmm… yaaa… gitu deh, hehehe…” kataku dan kau lalu bergelayut manja padaku. Langkah kita terseret pelan menuju tempat itu. Warung kecil di ujung kampung, merayakan hari kita, setahun kita saling jatuh cinta.
Setahun, waktu yang cukup untuk mengenal bahwa ketukan ujung sepatumu pada lantai memang tak akan pernah berirama, bahwa mengibas rambut bagimu bukan untuk merapikan helainya yang jatuh di wajah tetapi adalah irama sikap yang tak akan hilang, bahwa senyummu memang tak akan pernah lepas tetapi selalu tulus; dan semua menjadi benar, karena aku telah jatuh cinta dan orang yang jatuh cinta adalah orang yang selalu melihat semua kebenaran pada kekasihnya. Inilah aku, mencintamu hingga hari ini.
Dan bagiku, mencintai adalah sehari satu puisi untukmu. Dan bagiku, mencintai adalah deret kata-kata indah yang kutuliskan untukmu, di sms, facebook, twitter dan blogku. Dan bagiku, mencintai adalah, melihat engkau sebagai benar dan aku mengangguk setuju. Dan bagiku, mencintai adalah melupakan kisah keji sejarah tentang cinta, menangkap Romeo dan Juliet hanya pada bagian pertengahan, pun hanya mampu mengingat gelora asmara putra kedua raja Troya bersama Helen. Dan bagiku, mencintai adalah tidak bersiap untuk kehilangan, karena siapakah yang benar-benar mempersiapkan dirinya untuk kehilangan?
*** Hari ini hari kejepit nasional. Kau pulang sejenak ke rumah orang tuamu, dekat, setengah jam penerbangan, kau dapat tiket murah, dan pulang. Biasanya, kita habiskan waktu libur berdua, tetapi hari ini aku di sini sendiri. Pengumuman kejepit nasional dadakan ini membuat aku tak sempat berpikir untuk pulang. Rumah orangtuaku jauh, tak cukup libur sehari dua. Bulan depan aku berencana mengambil cuti tahunanku, pulang sekaligus bercerita tentang kita. Aku ingin menikahimu tahun ini.
Dan, tanpamu siang ini, televisi adalah sahabat yang kupaksakan ada. Stasiun berita sedang breaking news, satu lagi kecelakaan transportasi udara. Ah, bangsa ini tak seharusnya membeli pesawat-pesawat tak layak itu. Belum ada data pasti tentang nama dan jumlah korban, tapi kutahu, seperti biasa, pasti ada yang mati. Tapi sebentar… itu kan… nomor penerbangan yang…… kenapa dunia di sekelilingku gelap.?, Dhona, kau kah itu,,,?
*** Aku terbangun dan mendapati diriku telah kembali mengingat akhir tragis Romeo dan Juliet, tentang perang Troya yang maha dahsyat, tentang Siti Nurbaya yang mati, tentang kesadaranku yang kembali utuh. Aku tak seharusnya jatuh cinta padamu Dhonaku. Bukankah seharusnya aku percaya kata hatiku dulu? Cinta telah membawaku sejauh ini, sejauh mati, sejauh bumi, sejauh kau kini. Inilah aku, ketika kau pergi, tak pandai lagi menulis syair-syair dan puisi, hanya mampu menulis sajak-sajak tentang bagaimana dunia akhirnya melupakanmu, senyummu, cintamu, cita-citamu akan indahnya hidup dalam kedamaian dan kebersamaan.
Di tengah perih ini kuingat mimpi-mimpimu yang kau ceritakan padaku dengan senyum tak lepas namun tulus itu. Kau pernah ingin menjadi relawan AIDS, sekali dua berpikir untuk berjuang bagi buruh migran, bercita-cita membangun sekolah murah dan bermutu, membangun pluralisme nan sejuk di negeri ini dan… ah, mata ini sembab berair. Aku melihat, bagaimana akhirnya bumi menelan jasad kaku,pucat dan bisu, terkubur bersama tanah dan batu-batu, kata terakhir hanya berupa doa-doa, atau gerutu tak ada habis.
Inilah aku, meratapimu yang pergi membawa semua cintaku, tanpa sempat aku minta kembali, untuk peneman perjalananku nanti. Engkau Dhonaku, pergi membawa semuanya, aku tidak punya apa-apa lagi. Yang tersisa padaku hanya ingatan samar yang kupaksa hadir, tentang puisi yang kukirim sehari sekali.
Aku pernah meminta padamu:
Jadilah pohon, daunnya menyejukkan, udaranya menenangkan, aku ingin berteduh dari terik dan panasnya hidup.
Jadilah bangku, alasnya empuk, tiangnya kuat, aku ingin duduk dan bersandar, menceritakan segala perih dan penat penderitaan yang kualami sehari-hari, aku ingin bercerita dalam suasana nyaman, santai dan hangat, ditemani segelas teh tanpa gula, terasa manis, karena senyummu merubah segalanya.
Jadilah tongkat ketika kakiku lepuh karena terlalu lama aku berjalan, kau bisa menopangku, menuntunku sampai ujung perjalanan menuju cahaya,
Jadilah laut, aku ingin duduk di atas karang, memandangmu, bercerita semua, kau tahu sekali waktu aku suka sekali bicara, aku suka laut, aku berharap itulah dirimu, entah untuk apa.
Dan kini aku hanya meminta, kau Dhonaku, kembali… Tapi inilah aku berharap kau kembali saat ini sama seperti dahulu waktu pertama kali bertemu berharap tak jatuh cinta padamu, sama seperti berharap tak ada hari kejepit nasional yang diumumkan mendadak, sama seperti berharap bangsa ini punya pesawat terbang yang bagus. Ah, tahukah kau? Aku terlalu banyak berharap kupikir, sampai tak sempat mendoakanmu.
Baiklah Dhonaku, kutulis kini dalam sajakku bagaimana kemudian kau naik ke sorga, dan dunia pun terharu, ini tentang duka dan tak sepatah. Kini ketika aku sendiri berkemas, bersiap menuju mati, aku sendiri dan benar benar sendiri apa yang akan kutulis…? Lalu, dalam kegamanganku, ku ambil gambar lusuh milikmu, di dalamnya tertulis “berjalanlah terus ke depan, jangan pernah menoleh ke belakang, bahkan untuk mengenang – Bell- Dhona”.
Dan aku mati.
Aku yakin, penuh keyakinan
Kau tahu, lebih dari tahu
Tentang kebisuan, lebih berkata dari duka
Keheningan berbicara lebih dari lara
Tentang dukaku ditinggalkan, maka itu aku setia
***
Ini tentang pengetahuan lama dan sudah membatu
Kini diatasnya tumbuh bunga indah
Indah, seindah raut kau punya wajah
Harumnya kenangan sepahit empedu
Hitam, asap-asap pekat, darah mewarnai jiwa
Sampai hari ini aku tetap setia
***
Dan
Seribu tahun lagi, saat orang menggali
Wajah indah tertera pada lapisan batu
Berukir garis, bercerita mati – masih terharu
Aku memilih tetap setia
…..
=========================
Oleh : Hawa + Armin Bell [ Kolaborasi No. 22]
Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H