[caption id="attachment_72537" align="alignleft" width="250" caption="Pengantin Menyerahkan Pohon Sebagai Mas Kawin"][/caption]
Lima tahun lalu, saya sering diajak pihak Perhutani Kuningan Jawa Barat untuk berkeliling hutan dan gunung. Selain untuk melakukan reportase juga sekaligus arena rekreasi. Sebab saya jarang sekali berolahraga. Jika naik gunung, anggap saja sedang berolahraga untuk menyehatkan tubuh.
Ajakan Perhutani, belum sampai diajak ke puncak unung Ciremai, yakni gunung tertinggi di Jawa Barat, tingginya 3.078 mdpl. Baru sebatas gunung-gunung kecil atau lebih tepatnya bukit. Diantaranya Gunung Tilu. Gunung Tilu, tepatnya di daerah perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dengan Jawa Tengah.
Tepatnya di Desa Ciangir Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan dengan Desa Capar Kecamatan Salem Kabupaten Brebes. Gunung tersebut berada sekitar 1.500 mdpl-an. Namun memiliki keragaman hayati cukup membanggakan. Ada tanaman langka, seperti kemuning, sonokeling, Kemenyan (Styra sp), Kemiri (Dipterocarpus sp), Mata Buta atau Gaharu (Excoecaria agallocha).
Mata Kucing atau Damar (Shorea sp), Sawo Kecik (Manilkata kauki), Suren (Toona sureni) dan Tembesu (Fagraea fragrans). Selain pohon langka masih terdapat harimau lodaya, macan tutul, surili, monyet, ular piton dan ular hijau. Burung elang jawa dan jalak suren.
Kendati tidak semuanya pohon langka dan hewan dilihat langsung. Namun masih sempat diditunjukan. Ketika diberitahu Muhamad Faiz, Kepala Perhutani seperti macan kumbang terlihat pada senja hari, tengah berada di atas pohon.. Kontan saya terhenyak dan hendak pingsan begitu kaget dan takut.
Pendakian ke Gunung Tilu dilakukan sebab seminggu sebelumnya terjadi tanah longsor dan menimbulkan banjir bandang ke Desa Ciangir. Akibat banjir itu, seorang anak tewas terjebak di jembatan ketika hendak melewatinya. Desa Ciangir, dilintasi sungai yang berasal dari Gunung Tilu.
Tanah yang longsor terbilang luas. Lebar sekitar 300 meter dan tinggi kurang lebih 150 meter. Atas longsoran itu, pohon berusia ratusan tahun seperti sono keling, gaharu, kemuning dan kemenyan hancur seketika. Hal itu membuat luka tanah menganga di Gunung Tilu cukup mengerikan.
Padahal gunung tersebut di wilayah itu merupakan pusat resapan air dan sumber mata air bagi warga di Kecamatan Cibingbin. Termasuk daerah perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah, khususnya Kabupaten Brebes. Longsoran itu membuat semua pihak prihatin dan terpangil untuk melakukan reboisasi.
“Hutan bukan saja tanggung jawab instansi terkait. Seperti Perhutani, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) saja. Namun elemen masyarakat pun memiliki kewajiban sama untuk memelihara hutan. Termasuk wartawan, selain melakukan peliputan juga lakukan apa yang bisa. Misalnya menanam pohon meskipun hanya satu batang,” ucap Muhamad Faiz.
Kami pun selain melakukan pemotoan lokasi longsor dari dekat. Turut juga menebar bibit pohon. Diantaranya sengon, pelending, akasia dan pohon produktif lainnya. Penyebaran bibit itu, sebelumnya hanya tergugah atas ucapan Faiz. Namun setelah lama direnungkan, sudah waktunya memelihara alam.
[caption id="attachment_72538" align="alignright" width="250" caption="Keluarga Diberi Penyadaran Peduli Lingkungan dengan Cara Menanam Pohon di Lahan Kosong"][/caption]
Pengalaman cukup berharga itu, tidak didiamkan saja menjadi bahasa koran. Perlu ada tindakan nyata, khususnya dari aparat pemerintah. Tujuannya supaya peduli, namun iklim di daerah harus dimulai oleh pucuk pimpinan. Setelah pimpinan memiliki interest dan digetoktularkan pada bawahannya. Mau tidak mau akan turut serta.
Bencana skala kecil terus terjadi di wilayah Kabupaten Kuningan. Terutama tanah longsor. Kendati sekala kecil, namun memberikan motivasi kepada pemimpin daerah dalam hal ini bupati untuk melakukan terobosan dalam penyadaran masyarakat terhadap lingkungan hutan.
Selang setahun dari peristiwa Gunung Tilu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuningan, mengeluarkan kebijakan. Kebijakan cukup unik yakni “program pepeling”. Pepeling dalam bahasa Sunda berarti petuah atau nasihat. Namun Pemkab, bukan mengartikan pepeling sebagai petuah.
Namun merupakan singkatan. Pepeling diartikan pengantin peduli lingkungan. Terobosan ini cukup menggemparkan. Sebelumnya terjadi pro kontra. Sebab pepeling, dianggap mengada-ada dan tidak sesuai syariat agama Islam. Kenapa terjadi pro kontra dalam program ini?
Sebab dalam pepeling, ada kewajiban bagi warga yang ingin melangsungkan pernikahannya harus menyertakan lima pohon sebagai mas kawin. Pohon tersebut diserahkan ke petugas pencatat pernikahan untuk ditanam di tanah kosong. Tujuannya supaya lahan tetap hijau.
Empat tahun program itu terus digulirkan. Kesadaran semakin ditumbuhkan supaya masyarakat semakin peduli lingkungan. Dampaknya pun cukup luar biasa. Pohon yang dapat dikumpulan dari program itu, sekarang mencapai 50.000 pohon dan tersebar di lahan kritis.
Pohon pepeling yang mengurusinya, bukan pihak lain. Tapi si pengantin itu sendiri. Mereka merawat supaya tumbuh besar dan rimbun. Lahan kritis pun sedikit demi sedikit dapat teratasi, meski pun tidak sepenuhnya bisa diselesaikan. Sebab masih terdapat galian C di wilayah yang sudah ditentukan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H