Mohon tunggu...
Anti Sandera
Anti Sandera Mohon Tunggu... -

Tidak terlalu baik, tapi tidak terlalu buruk juga !! Karena semua yang "TERLALU" belum tentu baik dan belum tentu buruk....:)

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Simpul Pembelajaran Demokrasi di Sumatera Selatan”

9 Februari 2011   01:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:46 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masyarakat madani adalah sebuah konsep yang bertolak dari sebuah persetujuan awal, yang konon secara histories dikaitkan dengan konsep negara Madinah dalam perumusan "konstitusi Madinah" atau yang dalam diskursus awal, yang dipopulerkan oleh kaum cerdik-cendikia lebih kita kenal dengan istilah civil society. Sebagaimana sebuah konsep, masyarakat madani dalam perspektif sosiologi politik dan ilmu politik digambarkan sebagai kebangkitan kesadaran masyarakat untuk memberdayakan dirinya dalam suatu kancah pergerakan sosial (social movement). Pada konteks ini, masyarakat dibayangkan sebagai 'wilayah sosial' yang mandiri, dan integrative dengan sikap cultural yang kreatif, progresif, menghargai pluralitas serta didukung oleh system kepemimpinan yang berwibawa dan bertanggung-jawab. Harapan optimistik dari penggambaran tersebut, bahwasannya melalui masyarakat madani yang terdiri dari berbagai jenis asosiasi sukarela tersebut, mampu memberikan alternatif kelembagaan baru bagi individu selain dari keterikatannya pada the state of nature.  .

Doktrin integralistik pada bingkai negara kesatuan republik Indonesia yang menjadi retorika politik rezim-rezim terdahulu, menimbulkan suatu asumsi bahwasannya negara harus bersifat sebagai 'bapak keluarga' yang menjadi pelindung, pengayom yang tertinggi dan ter-agung bagi warga negaranya agar menjadi nyaman, lengkap dan utuh. Akibat pola dimana negara (baca:penguasa) bertindak hegemonik terhadap semua lingkup-laku kehidupan berbangsa dan bernegara melahirkan sikap yang obsesif dan opresif, akibanya seringkali perbedaan pandangan yang dimunculkan warganegaranya dianggap sebagai suatu tindakan subversif dan upaya dis-integratif. Asumsi diatas berangkat dari interpretasi normatif dan filosofis pada kalimat Pembukaan/Mukadimah UUD 1945 bahwa (negara didirikan) untuk (1) Mempertahankan bangsa dan tanah air; (2) Meningkatkan kesejahteraan rakyat; (3) Mencerdaskan kehidupan rakyat; (4) Ikut serta dalam mempertahankan perdamaian dunia. Menurut hemat kami kesemua hasrat normative yang dirumuskan dalam UUD 1945 tersebut akan terus menjadi suatu impian, jika negara tetap pada egosentrisme-nya dengan tidak melibatkan peran masyarakat madani dalam memanifestasikan visi normative konsitusi tersebut. Argumentasi lain yang mendasari keharusan melibatkan masyarakat madani/multi-stakeholders dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni bahwa penguasa (baca:pemerintah) tidak bisa lagi menjadi 'aktor tunggal' yang dapat menentukan arah dan proses penyelenggaraan kehidupan bernegara. Secara, objektif pemerintah memiliki keterbatasan kemampuan dan mau tak mau harus berbagi peran dengan para 'aktor' lainnya dalam masyarakat. Pandangan ini menjadi bagian dari konsep good governance yang kini diterima secara luas.

Pelibatan multi-stakeholders diatas dalam membangun kultur demokratis pada tingkat masyarakat didaerah-daerah merupakan langkah strategis dan penting untuk dilakukan, paling tidak ada dua kepentingan yang dapat ditumbuhkan dari pelibatan tersebut, antara lain : (1) kepentingan jangka pendek, yakni mengupayakan kesadaran masyarakat didaerah tersebut agar dapat berpartisipasi dalam lingkup-laku pembangunan dalam segala aspek didaerahnya, dengan cara-cara yang elegan dan demokratis. Pertimbangan ini berangkat dari teori-teori sosial yang ada, bahwasannya kultur pada masyarakat tradisional (biasanya) sangat kental akan budaya patromonialisme sehingga sangat besar kemungkinan, himbauan dan pesan-pesan bijak yang disampaikan oleh para ulama/tokoh agama lainnya, tokoh-tokoh masyarakat adat serta stakeholders lainnya dapat diikuti oleh masyarakat didaerah setempat. (2) sementara kepentingan jangka panjangnya adalah dalam rangka pemberdayaan dan peran pendidikan kewarganegaraan (civic education) secara berkelanjutan. Karena pembentukan warga negara yang memiliki kesadaran berdemokrasi, adalah langkah awal dalam menuju lajur demokrasi yang benar. Sebagaimana disampaikan Murray Print, bahwa pembentukan warga negara yang memiliki keadaban demokratis dan demokrasi keadaban paling mungkin dilakukan secara efektif hanya melalui pendidikan kewarganegaraan.

Untuk itu menurut hemat kami, sejak awal para 'pelaku kerja-kerja demokrasi' harus ada panduan yang sistematik tentang apa dan bagaimana membangun dan membina perilaku demokratis dan berkeadaban pada masyarakat grass root, tentunya dengan tidak mengurangi aspek kearifan lokal pada masyarakat setempat. Langkah-langkah sederhana dan murah dalam rangka sosialisasi massif ini adalah dengan memanfaatkan media informasi yang ada, seperti radio lokal, pamphlet, leaplet, penyediaan kotak aspirasi dan sarana informasi lainnya. Selain itu pertemuan pada balai desa dan tempat-tempat pertemuan lainnya dalam rangka sosialisasi dan membangun budaya diskusi serta pembentukan kelompok-kelompok kecil (small groups), kami pikir cukup efektif.

Sumatera Selatan jika dilihat secara geo-politik, propinsi yang memiliki luas 87.017 km² dengan penduduk + 6,7 juta jiwa ini memiliki banyak latar belakang suku, kelompok, agama, ras dan tentunya kepentingan yang berbeda-beda pula. Dalam perspektif kekayaan khasanah bangsa, ini merupakan suatu asset yang tidak ternilai harganya namun jika dilihat dalam perspektif lain seperti sosial-politik dan ekonomi  atau dalam konteks yang lebih umum lagi yakni multi kepentingan, ini adalah suatu kerentanan yang mengandung 1001 potensi konflik yang sangat besar.

Pengajuan program ini sebagai bentuk implementasi dari konsep serta berangkat dari keyakinan terhadap paradigma diatas, adapun kepentingan dari program yang telah dirumuskan, bukan saja didorong oleh hasrat untuk mempercepat proses pemberdayaan masyarakat rentan,  namun lebih dari itu yakni membangun serta menumbuh-kembangkan kesadaran masyarakat yang sempat dilelapkan (atau dipaksakan lelap) oleh pendekatan negatif top down yang bertolak dari pemikiran developmentalisme teknokratis rezim pemerintahan orde lama dan orde baru.

(Tulisan ini dibuat pada tahun 2006, sebagai pengantar dalam pengajuan Proposal Riset pada Komunitas Indonesia untuk Demokrasi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun