Mohon tunggu...
havidz furqoni
havidz furqoni Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mati Kata, Asal Nulis

21 November 2016   12:00 Diperbarui: 21 November 2016   12:04 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mati kata. Tak bisa lagi merangkai untaian kata yang dulu dengan mudah ku susun indah, seperti balok gedung pencakar langit. Huruf-huruf itu pergi menjauhiku, seperti ada yang menyumbat pikiranku, entah huruf huruf itu sendiri atau ada beberapa saraf yang putus, aku tak tau. laksana burung tanpa kicauan. Oh, sungguh malang nasib burung itu, dia hanya menolehkan kepala dengan pandangan kosong seolah terkurung dalam ruangan tanpa jendela keluar masuk angin. eh, setidaknya si burung bisa terbang jika dia benar tidak berada dalam ruangan tadi, meski tanpa kicauan. 

Terbang berarti berlari tanpa kaki di tanah, ya. Burung bisu itu masih lebih baik dari pada aku, mungkin lebih tepat jika di ibaratkan pohon, pohon yang telah di tinggalkan burung yang sudah take off dari ranting, pohon hanya dapat berbicara saat ada angin, lebih tepatnya berbisik, itu!!! hanya bisikan, bisikan tanpa irama, sungguh kosong, oh malangnya si pohon, sungguh keceriaan hidupnya bergantung pada angin, dia hanya bicara pada angin, meski kadangkala si angin mengajaknya gerakan senam kecil ketika tak ada bahan obrolan, si pohon masih bisa terhibur, dia menjuluki angin sebagai malaikat kebebasan, tapi sungguh si pohon lebih beruntung punya sahabat sang angin, aku, tidak.

Masih dalam keadaan senyap tanpa melodi, seperti sepatu terbengkalai di gantung mantan pemain sepakbola, pemain tanpa gelar, tanpa julukan, lebih banyak duduk di bangku cadangan. 

Pemain itu sedikit menyimak jalannya pertandingan, dia lebih fokus pada si wasit, di amatinya gerakan si wasit, dia berlari tak karuan dengan irama yang kacau, hanya mengikuti para pemain dengan bolanya, dia berlari sambil membisu, segala perkataannya di wakilkan pada peluit, peluit yang seolah menyaring segala perkataannya, keadaan si wasit mungkin cocok dengan keadaan diriku yang sekarang ini. eh, tapi sebentar, setidaknya si wasit bisu itu punya jabatan tertinggi dalam permainan sepakbola, dia pemimpin jalannya pertandingan, walau bisu dan sering mendapat cemo'oh para pemain dan suporter, dia pemimpin!!

Hanya kata "akkhh"dan ''ehhmm" yang sering keluar dari rongga mulutku yang kering ini, tak ada simfoni di dalamnya, clingak-clinguk ku toleh kanan kiri, semua berbicara, bahkan bernyanyi,sisi kanan ada si katak berbicara dengan sejenisnya, sisi kiri ada si jangkrik asik bernyanyi dengan notasi nada tinggi beruntutannya, di balik semak rerumputan ilalang, asik sendiri mereka, senang rupanya mereka, tanpa mengajakku, aku yang kini ada di tengah mereka, tak sama sekali tak ada perhatian terhadapku, ah sial, bahkan katak dan jangkrik pun tak mau bicara denganku. 

Kuacuhkan mereka, kusandarkan dagu pada tangan sembari jongkok, termenung sejenak layaknya patung homo sapiens, mencoba menyelam ke lautan fikiran, meski sulit untuk berenang dan tentu bukan lautan biru yang ku coba selami, ternyata tak ada ikan di sana, tak ada karang, sedikit lebih dalam,malah kulihat ada sebuah spons di sana, spons kuning dengan bintang laut di sampingnya, mereka terdiam beberapa saat setelah melihatku. 

kemudian mereka berlari ke arah cumi cumi yang sedang memainkan klarinet, terdengar samar seperti memainkan lagu the moment-nya Kenny G. sontak aku kembali berenang ke atas daratan fikiranku menuju diriku yang termenung membisu, sebelum ada kejadianyang tak di inginkan, bisa saja spons dan bintang laut itu mengajak bosnya si cumi cumi itu berenang mengikutiku untuk dipaksa bergabung dengan mereka. 

Lalu lari tunggang langgang alang kepalang aku di buatnya, setelah kembali dari alam bawah sadar, si katak dan si jangkrik masih mengoceh sambil melirik ke arahku, memandang rendah diriku atas kejadian absurd yang barusan terjadi. segera abaikankan kejadian gaib itu sambil langsung menuju teras rumahku, nafasku kacau ngos ngosan di buatnya, setelah kudapati diriku dalam keadaan stabil, ku ambil laptop dan mulai ku rangkai kalimat bisu ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun