Mohon tunggu...
havidz furqoni
havidz furqoni Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ngopi di Kuping? Eh Sambil Nguping

12 Maret 2016   21:29 Diperbarui: 12 Maret 2016   21:48 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Waktu itu pukul 10.30am, tak perlu kujelaskan hari apa, tanggal berapa, tahun dan sebagainya, hanya karena sedang tidak ada kegiatan dan memang kegetulan menjadi pengangguran, ku tulis catatan antah berantah ini. Tepat pada waktu yg telah tertera pada kalimat awal, ku duduk di kursi dengan meja yang usang di sebuah warung kopi, warkop yang hampir setiap hari ku kunjungi, pagi maupun malam hari, karena memang kebetulan pengangguran ini tidak kunjung mendapat pekerjaan.

Setelah segelas kopi hitam itu disuguhkan di meja, ku nyalakan sebatang rokok dan ku seduh pelan kopi, sejenak ku tutup mata dan menikmati rokok dengan kepulan asap kehidupan yang menjadi oli untuk melancarkan peredaran darah dengan sugesti merenggangkan syaraf syaraf otakku. Karena tak ada teman untuk mengobrol, dan tak gadget untuk di usap-usap, iseng-iseng menguping pembicaraan orang lain mungkin asyik, tentunya banyak orang yang mengalami kesulitan, tapi apa yang mereka alami?cerita apa yang mereka alami?, pikir ku sambil tersenyum licik, kusandarkan punggungku guna memperlebar jangkauan kuping lancip ku. 

Beberapa anak muda berseragam SMA di belakangku menjadi sasaran telinga usilku. "pekerjaan dengan karir yang meyakinkan, menikah, mempunyai liburan yang romantis, punya anak, keliling dunia, dan memelihara berat badan ideal ku..", belum sempat melanjutkan ucapannya temannya menyauti, "heh bro, lu gak pengen nganggur dulu, traveling ke luar pulau, kasian instagram lu tuh kurang piknik." kemudian mereka tertawa, terdengar dari ucapan mereka pasti baru lulus dari sekolah, mereka masih berupa tunas dari sebuah pohon kehidupan.

Bosan dengan pembicaraan mereka, ku majukan badanku.
"carilah pasangan, menikahlah, lakukan hal menyenangkan dengannya, saling berbagilah. semua omong kosong itu ada benarnya, carilah yang baik,bertahan, dan seterusnya." seorang kakek memberi kuliah pada pria paruh baya dengan setelan pekerja kantor yang sedang menundukkan kepalanya.

"hhmm.. asu!" dengusku pelan setelah mendengar ucapan si kakek, omong-omong tentang mencari pasangan mengingatkanku pada 'sang bunga yang mekar', bunga yang membuatku seperti curut terbirit-birit bersembunyi jika bertemu dengannya, ini sangat memalukan sekali untuk kuakui.

"lalu bagaimana kabar hari ini?" "kabarnya adalah menyebalkan, penyesalan yang menyebalkan,
dan kita melakukan hal hal yang sama seperti ini, menjalani hidup ini." dua wanita berbaju pegawai sipil, berbicara agak keras, berjalan di trotoar dekat kursiku, membuatku tertawa kecut mendengarnya.

"yah, adek mulai belajar membaca buku-buku,"
bagus, ketika masih muda ayah membaca confusius berkali-kali.
"tapi ayah,adek bisa belajar menjahit dan suatu hari nanti bisa membuat pakaian, tapi apa manfaatnyanya bagi aku untuk belajar dari buku?"
"yah, mungkin tidak akan bermanfaat seperti menjahit. tapi kau tahu..belajar dari buku memberimu kemampuan untuk berfikir, dan dunia mungkin berubah jika kau memiliki kekuatan untuk berfikir, dan kau akan bertahan dalam kehidupanmu kedepan nantinya, itu berlaku untuk anak laki-laki maupun anak perempuan. jadi teruslah belajar." anak perempuan dengan seragam putih-merah itu merangkul ayahnya setelah tali sepatunya di ikat.

"once I was seven yeras old. My daddy told me, go get yourself
 a wife or you'll be lonely. once I seven years old.
 I always had that dream like my daddy before me. so I started writing a songs, I started writing a stories."

Kemudian lagu Luke graham "7years" terngiung-ngiung di ubun-ubun ku. kok malah mellow? ah kempret gak ada yang ngobrolin jemuran celana dalam. Gak ada yang ngomongin tetangganya lagi masak apa. Gak ada yang ngobrol bagaimana caranya mengatasi banyaknya pertentangan di dunia ini, siapa terhadap siapa, bangsa lawan bangsa, golongan versus golongan, kelompok lawan golongannya sendiri, pemerintah lawan warganya sendiri. Semua hanya warna-warni satu ihwal: pertentangan kepentingan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun