Menurut hukum Islam, anak hasil pernikahan siri dianggap sah dan berhak mendapat pengakuan dari ayah dan keluarga ayahnya serta mendapat hak sebagai anak termasuk hak waris dari orang tuanya. Namun, terdapat implikasi yuridis terhadap status hak waris anak dari perkawinan siri yaitu belum terwujudnya perlindungan hukum dan keadilan, karena terhapusnya status hak.Â
Pembagian waris terhadap anak hasil dari pernikahan siri ini kemudian menjadi perdebatan karena dalam praktiknya banyak masyarakat yang tidak tahu boleh tidaknya memberikan harta warisnya kepada anak dari perkawinan siri dan bahkan terkadang diperlakukan selayaknya anak sah, karena memang anak tersebut sah secara agama sehingga seluruh warisan akan diberikan kepadanya yang akhirnya menyulut kemarahan ahli waris lainnya.Â
Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal tersebut menjelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu. Namun, perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama atau Catatan Sipil. Tanpa adanya pencatatan resmi, maka anak yang lahir dari pernikahan tersebut atau pernikahan siri hanya akan memiliki hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibu.Â
Dalam Pasal 863 dan Pasal 873 KUHP, "anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya". Oleh karena itu, anak hasil pernikahan siri dapat menjadi ahli waris jika diakui oleh ayahnya. Namun, jika tidak diakui oleh ayahnya, maka anak tersebut hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya atau keluarga ibunya.Â
Namun, dalam praktiknya, anak hasil pernikahan siri dianggap sebagai anak luar kawin yang tidak berhak mendapatkan hak waris dari ayahnya. Implikasi yuridis terhadap status hak waris anak dari perkawinan siri yaitu belum terwujudnya perlindungan hukum dan keadilan, karena terhapusnya status hak. Meskipun demikian, anak hasil pernikahan siri dapat diakui sebagai ahli waris jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum.Â
Hukum waris di peradilan agama merupakan bagian penting dalam sistem hukum yang mengatur pembagian harta warisan setelah seseorang meninggal dunia. Secara umum, hukum waris di peradilan agama mengacu pada prinsip-prinsip yang diatur dalam kitab-kitab suci agama yang dianut oleh masyarakat tertentu.Â
Pentingnya hukum waris di peradilan agama terletak pada upaya untuk menjaga keadilan dan keharmonisan keluarga dalam pembagian harta warisan. Sistem hukum ini memberikan pedoman yang jelas dan terstruktur dalam menentukan siapa yang berhak menerima bagian warisan, seberapa besar bagian yang diterima, serta prosedur hukum yang harus diikuti. Namun, perlu diingat bahwa hukum waris di peradilan agama mungkin memiliki perbedaan dengan hukum waris yang berlaku di peradilan sipil. Perbedaan ini terutama terkait dengan prinsip-prinsip agama yang menjadi dasar hukum waris di peradilan agama, yang mungkin berbeda dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam hukum sipil yang lebih bersifat sekuler.Â
Oleh karena itu, penting bagi peradilan agama untuk terus memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan gender, dan perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, perlu diperkuat pula upaya untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang hak-hak mereka dalam hukum waris di peradilan agama, sehingga mereka dapat lebih memahami dan melindungi hak-hak mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H