Dalam beberapa bulan terakhir, sebuah ungkapan unik terus bergema di berbagai platform media sosial: "marriage is scary" (pernikahan itu menakutkan). Sebagai seseorang yang mempelajari sastra, saya tergerak untuk mencermati bagaimana sentimen ini tercermin dalam penggambaran gelap pernikahan di sinema kontemporer. Film-film modern, khususnya di Indonesia, semakin menggambarkan pernikahan bukan sebagai akhir dongeng yang bahagia, melainkan sebagai awal dari sebuah transformasi yang kompleks dan terkadang menggelisahkan. Pergeseran perspektif narasi ini memunculkan pertanyaan menarik: Apakah penggambaran sinematik ini hanya mencerminkan kegelisahan kaum muda tentang komitmen, atau justru secara aktif membentuk persepsi generasi ini tentang pernikahan?
Dalam dua dekade terakhir, industri perfilman Indonesia telah menghasilkan beragam karya yang secara tidak langsung membentuk persepsi masyarakat tentang pernikahan. Dimulai dari tema perjodohan dan pernikahan terpaksa, Wedding Agreement (2019) membawa penonton pada realita pahit sebuah ikatan yang dibangun tanpa cinta. Film ini, bersama dengan Ketika Cinta Bertasbih (2009) menggambarkan dilema perjodohan dalam konteks religius, menanamkan kekhawatiran tentang hilangnya kebebasan memilih pasangan hidup.
Lebih mengkhawatirkan lagi, tema pengkhianatan dan kehadiran orang ketiga seakan menjadi bumbu wajib dalam narasi pernikahan di layar lebar Indonesia. Noktah Merah Perkawinan (2022) dengan berani mengupas ketidak-setiaan yang terjadi setelah 11 tahun pernikahan, sementara Ipar Adalah Maut (2024) membawa ketegangan pengkhianatan ke dalam lingkup keluarga terdekat.
Film Before, Now and Then (2022) bahkan membawa perspektif historis, menunjukkan bagaimana perselingkuhan telah menjadi hantu dalam rumah tangga sejak era 1960-an. Bahkan film yang mengangkat kisah cinta sejati seperti Habibie & Ainun 3 (2019) tetap menyelipkan konflik orang ketiga dalam narasinya.
Sinema Indonesia tak kalah tajam dalam menggambarkan pahitnya perpisahan, seperti dalam Talak 3 (2016), yang dengan gamblang menunjukkan betapa rumitnya proses perceraian dan rujuk dalam konteks hukum dan agama. Tak lupa Layangan Putus The Movie (2023) yang ikut menggambarkan secara nyata bagaimana sebuah pernikahan yang awalnya bahagia bisa hancur karena pengkhianatan, dan perjalanan seseorang menghadapi trauma perselingkuhan.
Isu poligami juga mendapat sorotan khusus dalam film Indonesia. Surga Yang Tak Dirindukan (baik seri pertama, kedua maupun ketiga) mengupas kompleksitas poligami dari berbagai sudut pandang, serta ada Ayat-Ayat Cinta (baik seri pertama maupun keduanya) yang menampilkan dilema poligami dalam konteks agama.
Fenomena ini, sebagaimana diungkapkan dalam artikel jurnal berjudul "The Impact of Exposure to Online Mass Media on People's Attitudes in Marriage Decisions in Indonesia," tidak berdiri sendiri. Studi tersebut mengungkapkan adanya korelasi kuat antara paparan media massa online dan sikap masyarakat terhadap keputusan menikah di Indonesia. Hasil penelitian tersebut menggarisbawahi peran ganda media sosial dalam fenomena ini. Di satu sisi, platform seperti Instagram dan TikTok memperluas jangkauan pengaruh film-film tersebut melalui diskusi dan ulasan viral. Di sisi lain, sebagaimana dicatat dalam studi tersebut, media sosial sendiri menjadi wadah bagi munculnya narasi-narasi alternatif tentang kehidupan tanpa pernikahan, mendukung pilihan untuk menunda atau bahkan menghindari komitmen jangka panjang.
Menariknya, menurut data dari berbagai platform ulasan film Indonesia, hampir semua film yang disebutkan di atas mendapat sambutan hangat dari penonton, mengindikasikan bahwa cerita-cerita ini bergema dengan pengalaman atau ketakutan nyata dalam masyarakat.Â
Film-film Indonesia saat ini tidak sekedar mencerminkan kegelisahan, tetapi aktif membentuk persepsi kritis generasi muda tentang pernikahan. Mereka bertindak seperti cermin sekaligus palu pembongkar mitos - menangkap keresahan yang sudah ada, sambil secara simultan mendorong generasi muda untuk mempertanyakan konsep tradisional tentang pernikahan. Film-film ini membantu mereka melihat pernikahan dari kacamata yang lebih nyata.
Mungkin ketakutan pada pernikahan bukan suatu hal yang sangat buruk. Ini artinya kita mulai berpikir lebih dewasa tentang hubungan. Dan film-film seperti yang telah kita bahas justru dapat membantu kita memahami bahwa cinta itu kompleks, dan menikah bukan sekedar mimpi indah.