Di antara heningnya malam, senyap sendu merayap dan memelukku perlahan. Tanganku terpaku di sudut dinding, meremas jemari dengan bibir terkatup rapat. Lidahku berusaha menahan rintihan yang hendak keluar, namun rasa pedih ini memang tak dapat dielakkan.
Memang benar kata orang, lebih baik sakit hati dibanding sakit gigi. Memang mungkin terdengar seperti omong kosong, namun rasa pedih yang menjalar seakan menembus ulu hati memang tak dapat didustakan.
Perih perlahan merayap memasuki saraf di gusi, menyetrum lingkungannya dengan rasa kesakitan. Setiap denyut dentuman menyerukan kehancuran, seakan mengajak semesta untuk merayap gigi ini dengan rakus.
Matanya terpejam erat, buliran air mata perlahan mengalir melalui pipi yang mulai ranum. Aku menyentuh perlahan sisi rahang yang mulai membengkak, lalu berucap dengan nada sendu,
"Aku gak mau ke dokter gigi"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H