Climate Action Tracker (CAT), Indonesia dinilai Sangat Tidak Cukup (Critically Insufficient) terhadap aksi iklim pada Desember 2023. Sebelum kita bahas lebih lanjut, mari kita mengetahui terlebih dahulu tentang Climate Action Tracker (CAT).
Menurut PenilaianClimate Action Tracker adalah proyek ilmiah independen yang melacak tindakan pemerintah terhadap perubahan iklim dan mengukurnya sesuai dengan tujuan Perjanjian Paris yang disepakati secara global untuk "menahan pemanasan jauh di bawah 2C, dan mengupayakan upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5C." Melalui kolaborasi dua organisasi, Climate Analytics dan NewClimate Institute, CAT telah menyediakan analisis independen ini kepada para pembuat kebijakan sejak tahun 2009.
CAT menilai target dan tindakan iklim negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Penilaian tersebut didasarkan pada metodologi ilmiah yang transparan, dan bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang seberapa jauh negara tersebut berada di jalur yang tepat untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris.
Dengan kata lain, CAT berfungsi sebagai pihak independen yang menilai upaya dan kemajuan negara-negara dalam menanggulangi perubahan iklim.
Climate Action Tracker (CAT) memberikan penilaian Sangat Tidak Cukup (Critically Insufficient)Â terhadap aksi iklim Indonesia pada Desember 2023. Penilaian ini menunjukkan bahwa upaya dan kebijakan Indonesia saat ini jauh dari cukup untuk mencapai target emisi gas rumah kaca yang telah disepakati dalam Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius.
Penilaian ini didasarkan pada beberapa faktor, antara lain :
1. Peningkatan Emisi Gas Rumah Kaca
Emisi gas rumah kaca Indonesia pada tahun 2022 meningkat 21% dibandingkan tahun 2021, terutama karena penggunaan batu bara yang lebih tinggi dan emisi dari pembangkit listrik batu bara off-grid telah memaksa revisi target Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP), yang tidak sejalan dengan Paris. Pembangkit listrik tenaga batu bara yang tidak terhubung dengan jaringan listrik ini mendorong berkembangnya industri logam dalam negeri dan proyek infrastruktur besar untuk ibu kota baru. Industri nikel Indonesia tidak hanya akan mendukung Indonesia dalam mencapai tujuan pembangunan dan transisi energi, namun juga akan memainkan peran penting dalam transisi energi global.
2. Target NDC Kurang Ambisius
Target Kontribusi Nasional yang Ditetapkan Secara Bertujuan (NDC) Indonesia untuk tahun 2030 dianggap tidak cukup ambisius dan tidak sejalan dengan upaya global untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius. Target ini hanya berupa penurunan emisi 29% dengan usaha sendiri dan 31,89% dengan bantuan internasional. Angka ini jauh dari target global untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius, yang membutuhkan pengurangan emisi global sebesar 45% pada tahun 2030 dan emisi net zero pada tahun 2050.
3. Kurangnya Kebijakan Pendukung
Kebijakan dan rencana aksi iklim Indonesia belum cukup untuk mencapai target NDC, dan masih terdapat kesenjangan besar antara target dan tindakan yang nyata. Contohnya Lambatnya transisi energi. Masih banyak proyek pembangkit listrik batu bara baru yang dibangun dan deforestasi yang terus berlanjut
Â
Akibat dari penilaian ini, Indonesia diproyeksikan akan mengalami peningkatan emisi gas rumah kaca hingga 300 MtCO2e pada tahun 2030, jauh di atas target NDC. Menurut CAT, Indonesia masih perlu mengurangi emisi gas rumah kaca agar mencapai target penurunan emisi sejalan dengan Perjanjian Paris. Meskipun ada upaya, seperti pengurangan emisi dari deforestasi, tantangan besar masih ada dalam mengatasi emisi dari sektor energi dan transportasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H