Kebijakan Pak Menteri Muhadjir Efendi tentang sekolah lima hari atau dalam istilah kerennya "Full Day School", bukanlah hal asing bagiku, hampir empat tahun aku mengajar di sekolah (setingkat SMK) yang telah menerapkan sistem sekolah lima hari sejak lima belas tahun yang lalu.Â
Yah, ini adalah salah satu SMK swasta di Kotamobagu Sulawesi Utara, sekolah ini mulai menerapkan sistem sekolah lima hari sejak tahun 2002, saat itu aku masih duduk di kelas 2. Naluri alamiah siswa yang merasa terkekang dengan kondisi persekolahan pada umumnya, membuat kami begitu bahagia. Libur Sabtu Minggu rasanya lebih dari cukup membebaskan kami dari tekanan guru dan tugas-tugas pelajaran yang tiada habisnya.Â
Waktu itu, sebagai siswa kami tidak paham apa yang melatarbelakangi pihak sekolah menerapkan kebijakan tersebut. Hanya seingatku, pada suatu apel pagi, wakil kepala sekolah mengumumkan bahwa mulai minggu depan kami akan sekolah selama lima hari saja, dengan syarat jadwal pelajaran di hari Sabtu dipindah ke hari-hari yang lain, resikonya tentu jam pulang sekolah lebih lambat dari biasanya, kami tak keberatan, perasaan kami justru diliputi kebahagian libur Sabtu Minggu.Â
Kini, ketika kebijakan sekolah lima hari ramai dibicarakan bahkan ditolak, aku dan beberapa teman sesama pengajar mengaku tak begitu tertarik. Bukannya kami apatis terhadap kebijakan pemerintah, tetapi berdasarkan pengalaman yang ada yakni sejak masih sekolah hingga menjadi  tenaga pengajar sekolah lima hari justru menyenangkan bagi siswa.Â
Apakah para pengambil kebijakan pernah meminta pendapat siswa secara langsung mengenai kebijakan sekolah lima hari? Â
Sekali waktu aku pernah bertanya kepada salah satu guru senior di sekolah tempatku mengajar saat ini, beliau juga adalah wali kelasku dulu, tentang mengapa kita menerapkan sekolah lima hari? Beliau menjawab, sebetulnya tidak masalah mau berapa haripun kita sekolah, yang penting kita tidak mengurangi jam pelajaran yang telah ditetapkan, yakni 37 jam pelajaran per minggu.Â
Sementara itu dalam peraturan Full Day School, jam pelajaran per minggu adalah 40 jam, dengan waktu belajar per hari 8 jam (tidak termasuk waktu istirahat), tapi sebelum diterapkan gelombang protes bermunculan, hingga peraturan tersebut dibatalkan. Apakah kita mampu membayangkan apa yang akan terjadi pada siswa jika dikurung begitu lama dalam sebuah gedung bernama sekolah? Jangan pernah memberi jawaban, bahwa kegiatan ekstrakurikuler adalah sarana terbaik siswa jika bosan di dalam kelas, belum tentu demikian.Â
Seandainya jika kebijakan sekolah lima hari tetap diterapkan, sebetulnya tidak berefek apapun di sekolah kami. Sebaiknya, kebijakan tersebut dikaji kembali, terutama sistem penerapannya yang merata di seluruh jenjang pendidikan, dasar hingga menengah atas. Belum sepantasnya anak usia sekolah dasar "disekap" seharian di sekolah, bukankah mereka butuh kebebasan, mereka butuh dekat dengan orang tua, keluarga dan teman-temannya.Â
Sesuai pengalaman kami, sejak usia sekolah menengah hingga menjadi tenaga pengajar, sekolah lima hari memang menyenangkan. Siswa sekolah menengah adalah remaja dengan tingkat kreativitas yang tinggi, penting bagi mereka untuk memperoleh kesempatan bergaul dan berorganisasi, mengembangkan diri diluar sekolah, karena mesti diakui bahwa sekolah bukan "peri" penolong yang mampu mewadahi seluruh kebutuhan penghuninya.Â
Lingkungan yang mungkin tidak memadai bagi pertumbuhan anak-anak kita, tidak mesti menjadi alasan utama untuk mengurung anak-anak kita di sekolah,. Karena sekolah belum tentu sanggup mewujudkan impian jutaan anak-anak kita. Perlu diingat, sekolah memiliki sejumlah peraturan yang cenderung dipaksakan pada anak-anak, ini membuat mereka bosan dan terikat, karena itu menambah jam pelajaran dan mengurangi jumlah hari bersekolah justru hanya menambah benan mental bagi siswa.Â
Pertanyaannya, bisakah pemerintah menerapkan sekolah lima hari tanpa menambah jumlah jam pelajaran, teknisnya cukup sederhana, 37 jam pelajaran per minggu, menjadi 6 sampai 7 jam per hari termasuk jam istirahat sekali (30 menit). Dengan demikian kita tidak mengurangi porsi belajar siswa, tetapi meringankn beban mental mereka selama berada di sekolah. Semoga memang sesederhana itu, tanpa pertimbangan politis sama sekali, tapi semata demi kebutuhan dan kenyamanan anak-anak kita. Mereka pasti senang. Sekolah sewajarnya, bergaul sepantasnya, berorganisasi sepuasnya.Â