Mungkin kita selalu memilikinya, kita selalu memiliki waktu terbuang dari sekian jam yang kita lalui setiap hari. Tapi, kita merasa segalanya berlangsung cepat, seperti ketika kita menyelami tetes hujan kemarin dan kita menamainya kenangan untuk hari ini.
Tapi aku merasa pertemuan ini justru berbeda, entah prasangkaku saja, ataukah memang demikian adanya. Seperti ada sesak yang tertahan ketika beberapa hari kita tak bersua dan bertukar salam.
Lampu-lampu cafe mulai menyala, beberapa pengunjung memutuskan pergi sebab hujan perlahan mulai reda. Kau masih tetap membisu, sedari tadi, sejak kita tiba di sini, sejak aku memulai kalimat-kalimat panjangku tentang bagaimana aku menjalani hari-hariku.
Aku masih belum bisa menebak, apa yang ingin kau sampaikan dengan merencanakan pertemuan ini jauh sebelum aku memiliki kesempatan.
Kau memutar kursi agar bisa duduk tepat dihadapanku, merapatkan tubuhmu ke meja cafe, dan meletakkan tangan diatasnya, lalu perlahan kau mengangkat wajah, menatap tepat ke mataku.
Di mata itu, aku menemukan semacam protes atas keadaan yang tak ingin dihadapi. Aku menemukan pancaran aneh, yang sebelumnya tak pernah kutemui. Hatiku tercekat, aku mengenalmu sekian lama, tapi aku tak pernah menemui sinar seperti itu di matamu, tajam, namun cenderung mengkhawatirkan.
"Aku Rindu..."
Suaramu lembut, pelan, dan tenang, hampir tak terdengar, namun batinku yakin, aku tak mungkin keliru.
Udara kian menusuk pori, aku merapatkan kedua tangan di dada yang degupnya kian menggelisahkan. Aku bingung, suaramu masih terus bergema di pikiranku.
Aku mengalihkan pandangan ke meja dan cangkir kopi yang telah kosong sejak tadi.
Mulutku terkatup rapat, padahal aku hendak mengulang kalimatmu. Di hatiku, aku mengakui bahwa aku juga memiliki kerinduan itu.
_______________
23 Rabiul Akhir 1442 H
"Sore, di Timur Bolaang Mongondow"