Di sela gedung bertingkat, pada jendela bercat abu-abu tua, seorang perempuan duduk terpaku, menatap syahdu pada kabel-kabel listrik yang tingginya hampir setara gedung yang ia tempati itu.
Ia tak peduli pada keramaian di bawahnya, pada jalanan yang riuh ramai oleh kendaraan. Ia hanya memusatkan seluruh penglihatan dan perhatiannya pada kabel-kabel listrik itu dan pada burung-burung yang bertengger diatasnya.
Perempuan itu sangat berbahagia ketika waktu magrib tiba, ia akan menata tempat duduknya sebaik mungkin, membuka gorden agar bisa leluasa memandang ke arah yang diinginkannya, yakni ke kabel-kabel listrik, lalu mulai menghitung berapa banyak burung-burung yang kerap hinggap disana.
Meski ia tak bisa memastikan sejak kapan ia mengagumi kabel listrik dan burung-burung itu, tapi ia menandai sebuah tanggal di kalender yang tergantung disamping jendela. Dan hari ini adalah hari ke sembilan puluh sembilan, ia menghitung jumlah burung-burung yang bertengger disana.
Namun, ia tak pernah memperoleh jumlah yang pasti, sebab penglihatannya mulai rabun meski usianya belumlah renta. Lagian, burung-burung itu begitu mungil, dan terbang sangat gesit.
Akhirnya, ia hanya bisa bersepakat dengan keadaan dan dirinya sendiri, bahwa burung-burung yang bertengger di kabel listrik itu tak terhitung jumlahnya.
Menjelang magrib burung-burung itu berdatangan satu persatu maupun bergerombol, hinggap dengan nyaman di kabel-kabel itu, magrib semakin mendekat, langit memerah memasuki senja dan deretan burung-burung itu semakin padat, awan-awan berubah gelap, hingga magrib sepenuhnya tiba dan malam mulai menyapa, seluruh kabel telah dihinggapi oleh mereka.
Mungkin tak ada yang menyaksikan ini, pikir perempuan itu, ia merasa memiliki pemandangan itu sendirian. Ia menyimpan momen bahagia itu setiap hari, menaruhnya di sudut batinnya yang paling indah, ia menikmati senja berhias burung-burung yang terbang dan hinggap di kabel-kebal itu dengan rasa syukur tak terhingga.
Dan ia berbangga atasnya. Ia bahkan mencemooh segala kesibukan duniawi yang berlangsung di bawahnya, dibawah kabel-kabel listrik itu. Di jalanan, tempat segala pertaruhan hidup berlangsung dengan hingar bingar ambisi manusia.
Perempuan itu tak lagi peduli pada apapun, semenjak tatapannya terpesona pada apa yang dilihatnya menjelang magrib. Bahkan, ia mulai lupa bahwa ada seseorang yang sedang menitip janji kepadanya untuk mendatanginya, jika waktu telah berkenan.
Ia berbahagia sebab melewati waktu magrib bersama mereka, ia kerap merasa bersembahyang bersama burung-burung itu, menyembah Tuhan dalam ritual suci yang diwajibkan kepadanya, menitip doa disayap kecilnya, sebab ia yakin burung-burung itu sanggup menerbangkan harapan ke angkasa. Serta dengan segala kepercayaannya ia yakin akan kembali mendapati burung-burung itu di tempat yang sama.