Seperti tak sabar menanti penyerahan selembar surat bertanda "LULUS" anak-anak berbaju seragam putih abu-abu begitu sumringah menyemprotkan pilox berwarna warni di seragam yang mereka kenakan setiap hari, hampir tiga tahun lebih itu. Padahal, acara pengumuman kelulusan masih beberapa jam lagi akan dimulai, tetapi, halaman sekolah yang sehari-harinya tak berwarna, kini berubah seperti lautan pelangi.Â
Anak-anak itu memberi warna di hampir seluruh tubuh, dari sepatu hingga rambut dan wajah juga turut diwarnai. Beberapa kemeja putih yang dipakai anak-anak lelaki berubah karya seni yang lumayan bagus, mirip grafiti di tembok-tembok pinggir jalan, karikatur tokoh atau artis idola, juga tokoh kartun kesayangan, ada pula yang menyemprotkan cairan berwarna dengan "teratur" seperti putaran obat nyamuk. Meski tak sedikit yang mencoret-coret dengan serampangan dan tak terkendali.Â
Tak peduli pada tatapan para guru dan kepala sekolah yang memang tak bisa berbuat apa-apa. Tawa dan canda bergema riang, secercah senyum lega nan jujur terlahir dari sorot mata dan semburat wajah remaja yang mulai menuju dewasa.Â
Dari segi usia anak-anak itu telah memasuki masa pubertas yang sudah sempurna, mereka siap memasuki masa dewasa pertama dan mungkin kebebasan awal mereka, yang kemarin-kemarin masih dinamai anak sekolah.Â
Ketegangan semu yang sempat mereka rasai di masa Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di minggu-minggu yang lalu seperti tak berbekas apa-apa. Mungkin sebagian besar dari mereka tak mendamba nilai sempurna yang dibuktikan dengan angka-angka.Â
Bisa jadi juga mereka tak peduli pada rendahnya rerata per mata pelajaran yang entah berstandar apa. "LULUS" mungkin tak dimaknai seperti itu, tetapi "LULUS" adalah tanda perpisahan yang sungguh membahagiakan.Â
Lonjakan-lonjakan kegembiraan, pekik histeris dan teriakan lega tak karuan, menjadi semacam simbol bahwa sesungguhnya ada rasa terkekang yang tertahan sekian tahun, ada tekanan-tekanan terselubung di ruang bawah sadar mereka yang setiap pagi dinaungi kalimat perintah, seperti, berbaris yang rapi, cepat masuk kelas, waktu istirahat selesai, tugas-tugas segera dikumpul, duduk yang sopan, berpakaian lengkap dan rapi, rambut jangan diwarnai, dan sebagainya, dan sebagainya, yang semua itu dibalut dengan slogan displin nafasku prestasi tujuanku.Â
Kini, rasa tertekan itu menemui pelampiasan yang luar biasa dahsyat, corat coret seragam, konvoi ugal-ugalan di jalanan bahkan berujung kecelakaan hingga kematian. Sekuat apapun usaha pencegahan dari guru dan kepolisian tetaplah kejadian serupa terus berulang ditahun-tahun yang akan datang.Â
Perlu diingat, ini telah menjadi ritual perayaan tahunan, seperti kurikulum pendidikan nasional yang makin tak bisa diarahkan apalagi diterapkan di hampir semua lembaga pendidikan.Â
Bisakah kita menelaah lebih jauh ke setiap sudut kesadaran anak-anak itu, tentang apa yang sebetulnya mereka rasakan, tanpa perlu berpijak pada akibat-akibat fatal maupun sisi moral yang dianggap harus ditertibkan.Â
Di awal-awal masa sekolah para guru begitu berbahagia menyambut dan mendidik mereka, meski dengan sejumlah aturan-aturan yang justru diterapkan dengan sedikit ancaman dan rasa bangga dari pihak sekolah.Â