Kelas hari ini menyajikan sesuatu yang sangat inspiratif, Â ini merupakan pertemuan pamungkas dari dua belas kali pertemuan yang kami lewati. Seharusnya hari ini kami berkutat dalam soal-soal sebagai ujian yang harus kami kerjakan. Tapi, kali ini tidak.Â
Ibu guru yang baik hati itu justru meminta kami mengajukan satu pertanyaan yang akan berusaha dijawabnya sesuai dengan kemampuannya sebagai seorang guru. Saya tergugah. Sesuatu yang baru akan kami cicipi, jika pada ujian-ujian sebelumnya, kami menerima tumpukan pertanyaan dari guru, kali ini kamilah yang harus membuat pertanyaan itu.Â
Dunia terbalik? Ah tidak, rasanya ini sungguh luar biasa. Pertemuan terakhir, memang seharusnya begini, mengingat banyak hal yang ingin kami ketahui tetapi waktu sungguh terbatas, maka segeralah kesempatan ini kugunakan sebaik-baiknya. Perasaan bahagia menyergapku seketika, harapan besar akan tuntasnya masalah yang sedang kuhadapi, kini menemukan jalannya, semoga.Â
Aku menaruh harapan itu pada pendapat, saran, pandangan atau apa saja dari Ibu guru yang telah sekian bulan mengajar di kelas kami. Aku kagum pada cerita-ceritanya tentang kebebasan beragama, ia mampu menggiring akal kami pada pemahaman yang logis tapi sama sekali tidak menganggu rasa keimanan kami sebagai orang yang mengaku beriman, karena itulah aku bertekad memintanya untuk mengemukakan pandangan atas satu hal yang akan kulakukan.Â
Ibu guru meminta kami menuliskan satu pertanyaan itu di selembar kertas dan menyerahkannya kembali, ia berjanji mulai besok pertanyaan-pertanyaan itu akan dijawabnya, dengan menuliskan jawaban itu dan menyerahkan kepada kami.Â
Aku gembira, dengan demikian aku bisa membaca dan menyimpannya, aku yakin apa yang akan disampaikan Ibu guru akan sangat berguna bagi keputusanku selanjutnya. Satu persatu teman sekelasku mengumpulkan kertas berisi pertanyaan, termasuk aku, ketika seluruhnya telah terkumpul, Ibu guru mengakhiri pertemuan itu dengan ucapan terima kasih dan doa.Â
Punggungku terhembus udara dari pendingin ruangan yang digantung tepat di dinding di belakangku. Tubuhku sedikit menahan gigil, sementara Ibu guru terus menatapku tak percaya, meski rasa kasih terpancar amat tulus di matanya.Â
Pagi ini, aku memenuhi panggilannya. Aku mengerti atas alasan apa aku harus berada disini dan berbicara dengannya. Setidaknya aku tak menerima penghinaan dan penghakiman sepihak atas satu hal yang dengan sepenuh hati akan kulakukan, aku menghargai Ibu guru sebagaimana juga ia akan menghargai pilihanku, semoga demikian.Â
Kedua tangannya menggenggam secarik kertas milikku yang berisi pertanyaan, aku meminta pendapatnya tentang keinginanku berganti kepercayaan.Â
"Jika kau tidak keberatan, aku ingin mendengar alasan mengapa kamu akan melakukannya, percayalah, alasanmu sama sekali tidak akan mengubah pendapat yang akan kusampaikan nanti, tapi harus diakui, masalah ini amat sensitif, karena itu kita harus bisa membicarakannya bersama" Ibu guru berkata sambil terus menatapku.Â
Dalam ketertundukan, aku menyampirkan salah satu ujung jilbab ke bahu, menarik nafas panjang, lalu mulai berbicara.Â