Mohon tunggu...
Dio Satrio Jati
Dio Satrio Jati Mohon Tunggu... -

melalui hati, dicerna pikiran dan digambarkan dalam nyata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Harus Label Branded?

24 Desember 2011   22:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:47 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa Harus Label Branded?

Gaya Hidup atau Sekedar Pembuktian Kekuatan

Oleh : Dio Satrio Jati

Setiap manusia memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri, tidak ada manusia yang persis sama. Dari sekian banyak manusia, ternyata masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Seorang individu adalah perpaduan antara faktor fenotip dan genotip. Faktor genotip adalah faktor yang dibawa individu sejak lahir, ia merupakan faktor keturunan, dibawa individu sejak lahir. Kalau seseorang individu memiliki ciri fisik atau karakter sifat yang dibawa sejak lahir, ia juga memiliki ciri fisik dan karakter atau sifat yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan (faktor fenotip). Faktor lingkungan (fenotip) ikut berperan dalam pembentukan karakteristik yang khas dari seseorang. Istilah lingkungan merujuk pada lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Ligkungan fisik seperti kondisi alam sekitarnya. Lingkungan sosial, merujuk pada lingkungan di mana seorang individu melakukan interaksi sosial. Kita melakukan interaksi sosial dengan anggota keluarga, dengan teman, dan kelompok sosial yang lebih besar.

Dalam kehidupan tentunya kita sering melihat beberapa orang yang sedang berkumpul disuatu tempat semisal restoran cepat saji, kedai kopi internasional dan tempat-tempat high class lainnya yang kadang tidak semua orang bisa untuk membeli produknya. Tentunya tak jarang pula mereka berfoto dan mengabadikan moment kebersamaan mereka bahkan saya sendiri juga yang sedang membaca tulisan ini pun begitu, tak salah memang ketika orang-orang tersebut mengabadikan kebersamaan mereka dengan berfoto atau untuk sekedar mendapatkan profile picture yang dianggap sebagai kebutuhan utama dalam kehidupan dunia maya. Namun yang menjadi pertanyaan, apa motivasi utama mereka saat mereka berfoto dengan menunjukan merk atau label produk yang sudah dibilang terkenal secara jamak di kalangan masyarakat luas.

Dalam hal ini saya ingin mengamati motivasi mereka melakukan akitifitas tersebut yakni berfoto dengan pose memperlihatkan suatu label branded yang telah mereka beli dengan tanpa mendapatkan benefit promosi dari perusahaan terkait.

Analisa Realitas

Secara kasat mata kegiatan berfoto dengan pose memamerkan label suatu produk atau memotret produk tersebut yang telah terkenal bisa dikatakan sebagai realitas empirik yang notabenenya kegiatan tersebut adalah kegaiatan yang dapat diamati, dikenali dan dilihat. Dimana dalam kegiatan tersebut (berfoto atau memfoto produk) ada hal yang bisa digambarkan melalui berbagai media seperti video, foto dan berbagai notulen lainnya. Penggambaran realitas empirik ini masih sekedar suatu bentuk benda belum mempunyai arti apa-apa dan penggambaran ini masih berupa pola yang tidak teratur dengan makna yang belum jelas pula. Menurut Mudjahirin Thohir untuk memahaminnya maka perlu dicari pola, makna dan ide yang tersembunyi dalam penggambaran suatu peristiwa untuk kemudian dikenal dengan istilah memahami “beyond the text”, dan kemudian “off the text”.

Dari pemaparan diatas bisa kita tarik suatu pengertian bahwa untuk mengkaji realitas harus digali secara mendalam, realitas sendiripun jika dijabarkan akan mempunyai lapisan-lapisan dalam setiap tahapannya. Tahapan itu antara lain realitas empirik, realitas simbolik, realitas makna, realitas ide dan realitas nilai (worldview).

Dalam realitas empirik adalah objek yang kita amati, dan jika kita mengamati lebih mendalam tentang fenomena melakukan foto dengan memunculkan label produk branded tentunya dengan kacamata teoritik, maka akan diperoleh suatu pola yang tersusun secara terstruktur yang hampir semuanya diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol yang akhirnya membentuk lapisan yang lebih mendalam daripada sebelumnya yang disebut realitas simbolik.

Dalam realitas simbolik bisa kita baca pola-pola bahwa pola tersebut relatif tetap misalnya soal partisipan pelaku yang meliputi siapa saja mereka, jenis kelamin, status pekerjaan, pakaian dan tempat yang boleh atau masuk kategori untuk bisa difoto. Partisipan itu sendiri terstruktur lagi menjadi siapa yang biasa melakukan hal tersebut, dan siapa yang menganggap hal tersebut adalah hal biasa sehingga tidak perlu adanya pengabadian moment (berfoto dengan menunjukan label produk). Hak-hak dan kewajiban apa yang harus dipenuhi oleh masing-masingnya. Dari tipe barang, makanan dan benda-benda yang menjadi simbol terealisasikan dalam realitas simbolik ini. Misal, makanan mengapa harus berupa makanan yang berharga mahal atau paling tidak sulit untuk dijangkau oleh semua kalangan. Dari segi prosesi, mengapa kegiatan tersebut diselenggarakan disuatu tempat dan waktu tertentu dan diatur dengan model-model tertentu dengan simbol utama memperlihatkan suatu produk branded. Di sinilah fungsi simbol, yakni ia mengekspresikan sekaligus menyembunyikan. Mengekspresikan perwujudan tanda-tanda (simbolik), sekaligus menyembunyikan sesuatu (kemauan, harapan, dsb).

Karena itu, lapis ketiga ialah realitas makna. Artinya, simbol-simbol itu dipilih sedemikian rupa karena “ia bermakna” atau diberi makna oleh pelakunya. Dalam realitas makna kegiatan tersebut bisa dimaknai secara bermacam oleh para pelaku kegiatan dan para partisipan yang menilai hal tersebut. Untuk menilai suatu realitas makna maka perlu kita menyelami apa itu realitas ide.

Realitas ide adalah kumpulan pengetahuan dan pengalaman-pengalaman (langsung atau tidak langsung) yang ditarik dari dunia kehidupan yang dihadapi sehari-hari. Belajar di balik pengalaman hidup keseharian itulah, mereka lantas membangun atau mewarisi bangunan pengetahuan (local knowledge) dan strategy (methode) dari generasi sebelumnya. Bangunan pengetahuan itu dikaitkan dengan pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan di luarnya. Misalnya jika semua ukuran agar dipandang sebagai komunitas strata atas adalah dengan membeli gaya hidup tentunya berfoto dengan menunjukan label suatu produk yang bermerek akan menjadi pilihan utama sebagai sarana untuk menaikan prestige seseorang. Padahal apabila kita teliti dan kita amati lebih jauh, hal ini tentunya akan menjadi biasa ketika seseorang memang sudah berada di level strata atas yang tentunya akan lebih punya mindset bahwa berfoto di restoran cepat saji, kedai kopi dan restoran mahal lainnya adalah hal yang biasa, seperti halnya seseorang yang dengan strata dibawahnya yang menganggap biasa ketika mereka sedang berada ditempat biasa semisal warteg sehingga mereka jarang berfoto dengan pose-pose tertentu. Kebutuhan untuk memperoleh anggapan bahwa mereka telah mapan secara ekonomi atau dianggap “gaul” membuat mereka harus membangun relasi, dalam membangun relasional tersebut disana ada etika yang bergerak atas hubungan ketidak-sejajaran yaitu antara orang yang murni berada dilevel strata atas dengan orang yang ingin berada pada level tersebut. Hal ini lah yang membuat terciptanya kebiasaan berfoto dengan latar belakang restoran mahal atau berfoto dengan pose menunjukan label produk makananan bermerek tersebut. Pada dasarnya kegiatan ini adalah ekspresi untuk diri sendiri, kepuasan batin inilah yang membuat mereka merasa dianggap telah pantas untuk masuk kedalam level strata yang lebih tinggi entah dengan bagaimanapun caranya, padahal dari sisi yang memandang belum tentu kegiatan tersebut dianggap mewakili kemampuan ekonominya, karena dengan berbagai alasan. Mungkin itu kegiatan tersebut hanya dilakukan beberapa periode, mungkin kegiatan tersebut baru pertama kali dilakukan, sama persis analisanya ketika orang sudah terbiasa makan di warteg dan tidak atau jarang melakukan kegiatan berfoto tersebut.

Mengapa harus Branded? Karena adanya motif-motif, harapan-harapan, dorongan-dorongan dan kehawatiran. Ada perasaan yang dianggap kurang ketika belum melakukan kegiatan tersebut atau ada anggapan ketidakberdayaan (pada globalisasi sekarang ini menuntut manusia untuk selalu tampil bagus dalam pembungkusan citra). Barang mewah, serta gaya hidup konsumerisme yang dianggap high class menjadi alasan utama untuk membeli “tangga naik” yang dapat dijadikan pijakan untuk bisa dianggap sejajar dengan level strata atas meskipun mereka tidak mendapat benefit apapun dari perusahaan tentang kegiatan mereka ini.

Dalam foto tersebut tentu ada sejumlah pertanyaan yang harus dijawab antara lain adalah jenis sesuatu yang dianggap cocok untuk ditunjukan kepada pihak-pihak yang akan melihat foto tersebut (memperlihatkan pose sedang memakan atau meminum produk high class), dengan cara bagaimana pose mereka dilakukan (proses ritual, tindakan-tindakan, ucapan-ucapan dan lain sebagainya ) sehingga tujuan akan harapan, keinginan bisa tercapai. Hubungan realitas ide inilah yang kemudian dijabarkan dalam pengertian yang bisa dimengeti (realitas makna) yang tersembunyi dibalik simbol-simbol (realitas simbolik) sehingga bisa kita saksikan dalam kegiatan berfoto atau memotret makanan yang dianggap mahal dan tidak semua kalangan bisa menjangkaunya.

Disinilah worldviewdibalik kegiatan berfoto dengan menunjukan label branded. Dimana manusia sejatinya ingin selalu tampil lebih baik daripada lainnya, dan sejatinya sejak awal memang manusia hidup dalam kompetisi. Agar mereka selalu bisa survive dalam kompetisi pergaulan maka hal ini dimaklumi sebagai pembuktian bahwa mereka juga bisa untuk menjadi seperti yang berada diatasnya meskipun tidak setiap hari dan dalam beberapa periode tertentu.

Dalam pemaparan diatas bisa disimpulkan bahwa gaya hidup telah menjadikan seseorang melakukan apapun untuk menunjukan eksistensi mereka, menunjukan bahwa mereka itu ada dan mereka juga patut diperhitungkan. Namun ketika pilihannya adalah dengan memotret jenis-jenis makanan, berfoto dengan berpose menunjukan label branded dan menunjukan secara luas didalam akun-akun social media apakah itu adalah sesuatu yang bijak, tak ada yang salah memang namun bukankah hal itu akan menimbulkan kecemburuan sosial apabila dimaknai secara lain dari mindset seseorang pelaku tersebut oleh orang lain. Padahal, sejak dari tradisi di desa, sekolah dan perguruan tinggi, harga diri seseorang itu karena ilmunya, pribadinya dan kontribusinya pada masyarakat banyak, bukan pada gaya hidupnya yang menjadikan materi dan pangkat sebagai topeng pemanis diri dan pendongkrak status sosialnya.

Sumber Bacaan

·Thohir, Mudjahirin. Agama Masyarakat Nelayan : Memahami Kehidupan Beragama Masyarakat Nelayan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. http://staff.undip.ac.id . 2010

·Hidayat, Komarudin. Membeli Gaya Hidup. www.metrotvnews.com/read/analisdetail/2011/12/19/234/Membeli-Gaya-Hidup. 2011

·Ismail, Azen. Manusia Sebagai Mahluk Individu dan Mahluk Sosial. http://azenismail.wordpress.com 2010

Semarang, 25 Desember 2011

Terima kasih untuk Twitter yang telah menjadi blocknote elektronik saya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun