Mohon tunggu...
Sosbud Pilihan

Tanah untuk Rakyat

4 Maret 2017   20:45 Diperbarui: 4 Maret 2017   20:49 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peraturan pemerintah yang tak segera menyelesaikan persoalan pertanahan  dan peraturan Presiden tentang ‘tanah’ semakin urgen dan butuh penegasan. Mengingat UUPA tahun 1960 yang menjadi cita-cita founding fathers tidak ada upaya pemimpin saat ini untuk melaksanakan distribusi tanah ke petani miskin. 

Konflik yang terjadi di berbagai daerah selalu absen dari perbincangan publik.. Konflik di Karawang baru-baru ini, dan konflik yang sudah lama seperti di Riau, Lampung dan Kalimantan harus diselesaikan dengan memberi keadilan pasti kepada rakyat yang lelah dan selalu kalah dengan pemilik modal. 

Upaya untuk mencetak 2 juta lahan pertanian baru, masih dirasakan pesimis mengingat lahan pertanian tersebut akan dikelola oleh negara sebagai pemilik sah tanah. Jika upaya distribusi tanah ke petani miskin hanya janji-janji, sampai kapanpun yang memenangkan perebutan tanah sejak era kolonial sampai pemerintahan Indonesia saat ini adalah penguasa dan pengusaha. 

Persoalan lain adalah banyaknya hutan Indonesia yang dibabat habis oleh asing dan dijadikan perkebunan sawit dan karet. Ironinya, penguasaan hasil perkebunan pada akhirnya mengalir ke negara asing. Alih-alih bicara investasi, tanah, tanaman, dan hasil panen pada akhirnya memberi keuntungan untuk negara lain. Sipapun Presiden yang terpilih, tidak ada pilihan lain kecuali salah satu unsur peradaban ini direbut kembali dan menegaskan bersama bahwa “Tanah Untuk Rakyat"

Tanah adalah satu prasyarat kekuasaan terpenuhi. Tanah dalam pemikiran Malik bin Nabi (1948) adalah satu unsur peradaban selain manusia dan waktu. Begitu pentingnya tanah sehingga falsafah jawa menyebut “sadumuk bathuk sanyari bumi, yen perlu ditohi pati” yang berarti ‘satu sentuhan kening, satu jari luasnya bumi bertaruh nyawa’. Sadumuk bathuk dimaknai penghinaan berat, orang yang keningnya ditunjuk sebagai ungkapan tidak mampu berfikir. Dalam adat Jawa dikenal dengan istilah ‘amuk’.

Agus Sunyoto (2011) menjelaskan bagaimana Antonio Pigafeta, seorang pelaut Italia yang datang ke Jawa pada 1552 Masehi menyaksikan orang-orang Jawa melakukan ‘amuk’ beramai-ramai sampai korban amuk menemui kematian. Penghinaan oleh Kenpetei kepada rakyat selama pendudukan Dai Nippon juga berujung ‘amuk’ oleh rakyat Surabaya tanggal 11-13 September 1945 dalam bentuk penyerangan, penyembelihan Kenpetei sampai meminum darah mereka. Falsafah ini menandakan satu tekad manusia mempertahankan tanah sebagai hak mutlak.

Orang Madura memiliki  prinsip yang sama “tembang poteh mata angu’an poteh tolang”yang bermakna ‘dari pada putih mata lebih baik putih tulang’. Esensi makna prinsip tersebut dikenal dengan dari pada malu lebih baik mati. Masyarakat Madura memiliki tradisi ‘carok’ berkelahi sampai mati untuk menebus harga diri dan kehormatan yang diinjak-injak. Orang Bugis dan Makassar juga memiliki prinsir ‘Siri’ yaitu tradisi berkelahi dalam satu sarung dengan saling tikam menggunakan badik satu sama lain hingga salah satu tewas atau tewas keduanya. Pepatah tersebut dikenal “Uttetong ri-ade’e, najagainnami siri’ku (aku taat kepada adat, karena dijaganya siriku)

Tradisi-tradisi adat nusantara di atas adalah satu bentuk upaya mempertahankan hak mereka terutama saat-saat penjajahan terjadi. Walaupun dalam ranah hukum kontemporer saat ini tidak dibenarkan—setelah Indonesia merdeka dan memiliki hukum mengikat ke semua suku—namun tradisi di atas pernah dipegang erat oleh suku-suku di nusantara untuk mempertahankan tanah mereka. Perlawanan terjadi upaya hukum jelas mustahil akan member keadilan pada mereka. Sepanjang abad 18 dan 19 hampir tiap tahun terjadi pemberontakan petani local di Indonesia. James Scoot (2000) menyebutnya sebagai perlawanan sehari-hari (everyday forms of resistance).

Ketika Indonesia merdeka muncullah kebijakan Land Reform (reforma agrarian) yaitu Nasionalisasi asset perkebunan yang pernah dikuasai Belanda dan diterbitkannya Undang-Undang  Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 dengan membatasi kepemilikan tanah pribadi dan memberikan hak kepada setiap petani atas tanah. Namun karena para tuan tanah menghindari UUPA dengan berbagai cara, para petani kemudian di organisir oleh organisai petani yang berafiliasi politik seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Rukun Tani Indonesia (RTI), Persatuan Tani Indonesia (Petani) dan organisai lainnya. Partai Komunis Indonesia (PKI) contohnya menggunakan isu land reform untuk mempolarisasikan penduduk desa menjadi dua kelas bertentangan yaitu ‘tuan tanah’ (setan desa) dan ‘petani’. (D.N. Aidit, Kaum Tani Mengganyang Setan Desa: 1964). 

Ketika terjadi peristiwa G 30 S PKI, pembantaian kaum komunis sebagaian besar adalah pembantaian tuan tanah kepada petani miskin yang takut kehilangan tanahnya. Abdurahman Wahid (Gusdur) menyebutkan sekitar 40% properti perkebunan negara itu didapat dari merampas hak para petani miskin (Journal of Konsortium Pembaruan Agraria)

Sejarah kerajaan di Nusantara tidak ada gagasan kepemilikan tanah secara individu. Seorang tuan tanah tidak memiliki tanah, dia memiliki petani-petani dan kelompok pengiring. Ketika sang Raja menjatahkan tanah kepada bawahannya, maka dia akan membawa petani dan rombongannya untuk mengusir penduduk dan menguasai tanah. Dengan hasil dari pertanian tersebut petani dan rombongan pengiring membayar pajak per kepala. (Onghokham: 2008). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun