Tulisan ini ingin menggabarkan sketsa sosiologi intelektual Muslim pada eratahun 1990-an. sebab, hampir semua ilmuwan Islam yang dijadikan objek dalamkajian ini adalah mereka yang pernah belajar di Barat dan lulus pada tahun1990-an. Karena itu, artikel ini hendak memberikan gambaran yang komprehensifbagaimana corak pemikiran Islam yang berkembang pada tahun 1970-an dan 1980-an.Kajian ini dimaksudkan untuk memberikan di awali dengan thesis antithesis suasana akademis dialogis era 70 ‘an artikel ini terlahir sebagai suatuargument terdapatnya kesinambungan pemikiran Islam yang berkembang selama tigadasawarsa ini yang dalam hemat penulis merupakan khasanah intelektual inteligensia yang indegenius yang patut dipertahankan dalam skripsi penulis pergolakan pemikiranpemikir-pemikir Indonesia di eratersebut dikupas .
Karena itu, untuk memahaminya perlu dijelaskan secaratelegrafik bagaimana hal tersebut terjadi.untuk membedakan dengan kajiansebelumnya, saya akan menyajikan dengan studi bibliografis. Model ini memangbelum pernah dilakukan oleh para sarjana, baik dalam maupun luar negeri. Karenaitu, studi ini berusaha sekuat tenaga untuk menyajikan karya-karya yang terkaitdengan pemikiran Islam di Indonesia era 1970-an dan 1980-an. Tentu saja,kelemahannya terletak pada sejauh mana pengetahuan saya tentang karya-karyatersebut. Untuk itu, tidak menutup kemungkinan model ini dapat dilengkapi olehsarjana berikutnya yang tertarik dengan studi pemikiran Islam di Indonesia
Sejauh ini, akar-akar pembaruan Islam memang belum ada kesepakatan di antarapara sarjana Islam Indonesia. Sebab, akar-akar tersebut cenderung dilihatmelalui satu sudut pandang semata, dimana mengabaikan sudut pandang yang lain.Sudah lazim malzum, bahwa pembaharuan Islam di Indonesia dimulai saat awal abadke-20 atau menjelang akhir abad ke-19. 1 Namunbelakangan, ada yang berpendapat,seperti yang sering ditulis oleh AzyumardiAzra, bahwa pembaruan Islam di Indonesia telah dimulai pada pada abad ke-17.
Hal ini tentu saja memberikan impakyang serius terhadap wacana pembaruan, terutama mengenai sejarah intelektualIslam di Indonesia. Jika kita sepakat pembaruan pemikiran Islam muncul padapendapat pertama, maka sekian data-data sejarah intelektual Islam pada abadsebelumnya hanya menjadi “pengembira” dalam kajian intelektual Islam.Sebaliknya, jika kita mulai sepakat dengan pendapat kedua, maka tugas kitaselanjutnya adalah menulis kontiunitas sejarah Intelektual Islam setelah abadtersebut. Dan, harus diakui bahwa jika ada kajian yang mulai menulis tentangtopik ini, maka dinamika intelektual di Haramayn dan Mesir tidak dapatdiabaikan sama sekali
Setumpuk artikel wacana gerakan pembaruan pada awal abad ke-19 dan 20 punmasih ikut “melirik” dentuman peristiwa demi peristiwa yang terjadi di TimurTengah. Hanya saja, yang diambil oleh para pionir pembaru di Indonesia adalahsemangat dan model pembaruan melalui pengembangan pikiran tokoh dan media suratkabar (jurnal). Dalam konteks ini, pembaruan masih sebatas menghadang aruskolonialisme, 4Kristenisasi yang dijalankan para penjajah, 5dan“pembetulan” disana-sini perilaku ibadah umat Islam yang telah “terjerat” TBC(Taklid, Bid’ah dan Churafat). 6
Misi pembaruan ini tentu saja tidak bertahan lama, sebab menjelangkemerdekaan dan paska kemerdekaan, energi tokoh Islam lebih “terkuras” dalamperdebatan dasar negara, hubungan agama dan negara, dan arah politik Indonesiayang sedikit banyak telah “dikuasai” oleh kelompok nasionalis sekular. 7Bahkan menjelang keruntuhan era Orde Lama, pemikiran Islam sangat sulit sekalidikembangkan, sebab perhatian bangsa ini masih tertuju pada bagaimana “mencucipiring” akibat ulah PKI.
Akar akrobastik pemikiran Islam baruberkembang pada era 1970-an. Dalam hal ini, M. Dawam Rahardjo dalam bukunya, IntelektualIntelegensia dan Perilaku Politik Bangsa menuturkan bahwa faktor objektifyang menghadirkan gejala kecendekiawanan Muslim adalah aktivitas pemikiran danbahkan gejolak pemikiran di sekiar paham pembaharuan yang dilontarkan olehkalangan muda di awal dasawarsa 1970-an. Dari sini menunjukkan bahwa perankelompok muda yang dimotori oleh Nurcholish Madjid memang terjadi pada tahun1970-an. Kelompok muda menginginkan agar umat Islam tidak lagi mengingat memoritentang kekuatan politik umat Islam pada era Orde Lama. Karena itu, merekamenginginkan agar perjuangan umat Islam lebih diarahkan kepada substansi ajaranIslam melalui pemodernan pemahaman Islam.
kehadiran intelektual saat itu, merupakan respon terhadap isupembangunanisme (modernisasi) yang dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru yangmencoba membungkus rapat-rapat kekuatan politik Islam. Dalam hal ini, M. SyafiiAnwar dalam karyanya Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia menandaskanbahwa pemerintah Orde Baru akan menggeser ideologi politik yang bersifatprimodialisme. Hal ini yang menyadarkankelompok muda Islam, agar ideologi politik Islam tidak perlu lagidigembar-gemborkan, sebagaimana digelorakan oleh kelompok tua yang merasadirugikan oleh pemerintah Orde Lama.
N-U muda dan N- Oe Tua
Kajian yang cukup komprehensif tentang bagaimana peran Cak Nur telahberhasil dikupas agak tuntas oleh M. Kamal Hassan melalui disertasi Ph.D-nya diColumbia University pada tahun 1975 dengan judul Muslim IntellectualResponse to “New Order” Modernization in Indonesia. 10Belakangan hasil penelitian ini digugat oleh Greg Barton melalui karyanya GagasanIslam Liberal di Indonesia. 11Hasil penelitian Barton, terutama yang menyangkut klasifikasi Islam Liberal,kemudian banyak dibantah oleh anak muda NU, seperti yang dilakukan oleh AhmadBaso dalam tulisan “Neo-Modernisme Islam Versus Post-Tradisionalisme Islam.” 12Selain kajian Kamal, studi yang dilakukan oleh Bahtiar Effendy dalam karyanya Islamdan Negara, 13M. Rusli Karim melalui bukunya Negara dan Peminggiran Islam Politik, 14juga ikut mengulas bagaimana bagaimana dinamika Pembaharuan Pemikiran Islamdalam merespon politik Orde Baru. Bukan hanya mereka, ada juga sarjana yangmencoba melihat dari sisi ketegangan dengan Pancasila seperti yang dilakukanoleh Faisal Ismail lewat karyanya Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama.15Di samping itu, ada pula yang melihat bagaimana dinamika tersebut jikadihadapkan dengan wacana demokrasi seperti yang dikaji oleh Masykuri Abdillahmelalui karyanya Demokrasi di Persimpangan Makna.
yang menarik dari kajian-kajian di atas adalah bahwa pikiran generasi mudaera 1970 telah mendapat tempat yang layak dalam studi pemikiran Islam diIndonesia. Lebih dari itu, implikasi dari pemikiran tersebut ternyata telahmerubah kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam. Impak ini dapatdirasakan misalnya, dari bentuk kebijakan yang bersifat akomodatif. BahtiarEffendy memaparkan bahwa tanggapan akomodatif negara ini dapat terlihat dalamempat bidang yaitu akomodasi struktural, legislatif, infrastruktural, dankultural. Dalam bidang struktural, bentuk akomodasi yang paling mencolok adalahdirekrutnya para pemikir dan aktivis Islam politik generasi baru ke dalamlembaga-lemabag eksekutif (birokrasi) dan legislatif negara. 17 Adapun akomodasi legislatif dapatdilihat dari produk undang-undang atau peraturan yang agak “berpihak” kepadaIslam. Sementara akomodasi infrastructural adalah dibangunnya beberapa bangunansebagai “proyek kegamamaan” dan adanya pengakuan pemerintah terhadap keberadaanBank Muamalat Indonesia pada tahun 1991. Terakhir, akomodasi cultural dimanapara pejabat sudah mulai memakai idiom-idiom Islam dalam acara kenegaraan.Kajian lanjutan tentang hal tersebut dapat dibaca dalam karya Abdul Azis Thaba,Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru 18 danbuku Aminuddin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia