Mohon tunggu...
Politik

Jas Merah (Jangan Lagi Mengulang Sejarah)

20 Februari 2017   16:42 Diperbarui: 20 Februari 2017   18:04 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sisa sisa politik masa lalu adalah cambuk sejarah untuk masa kini

Dihapusnya dwifungsi ABRI setelah reformasi berlangung,digunakan pemerinthana oligarkhi untuk melanggengkan kekuasaannya dengan menindas kepentingan sipil, agar setiap sektor birokrasi dijabat orang orang militer  sebagai alat pelanggeng

Kalau dulu di era orde baru ABRI dan polisi demikian dominan mendominasi , menguasai birokrasi atas sampai terbawah dengan istilah carteekeer, masih sama saja sekarang militer dan polisi dimanfaatkan oleh pemodal untuk  mencakup kekuasaan dengan suapa dan akses ,dalam koherensi dinamika politik pemerintahan yang katanya akan dihapuskan gaya militer, kenyataannya di tubuh pemerintahan  tidak bisa melepas pengikatannya dengan militer, sehingga kekuatan duluar itu hanya dianggap faktor penunjang saja. Dikalangan perwira militer muda  menengah (pamen) yang patut dilakukan adalah taat dan korsa pada korpnya , untuk kemudian dikendarainya jika sudah pensiun dini, sedangkan bagi para pensiunan jenderal ketidakpuasan lain adalah dengan pangkatnya yang tinggi tak dapat memperoleh akses tanpa kasak kusuk dengan partai politik, karir di militer sudah ada acuan bakunya, walaupun ketidak puasan lainnya muncul manakala  beberapa kalangan dirugikan atas karir militer para  jenderal yang melesat begitu cepat. Persaingan karir para jenderal terutama di kepolisian sangat ketat, yang tak sedikit kadang mempersiapkan anak anaknya untuk segera menggantikan posisinya setalah orang tuanya Purna , demikian pula Karir Militer , kebanyakan juga diwariskan dari keluarga militer , yang bukan dari kalangan keluarga militer juga jauh tertinggal, karena sudah tradisi ( biskuit roma), tak ada satu teoripun cespleng untuk melanggengkan karir bagi siapapun, apalagi kesempatan berkarir, ibarat gajah mati meninggalkan Gading , Harimau mati  meninggalkan Belangnya, begitupun  presiden prei ya tentu meninggalkan kroni kroninya,.lha kalau tanggap persoalan itu tidak ada salahnya  seorang mantan presiden mnsegerakan penerusnya untuk digadang gadang jadi calon presiden, paradigma ini perlu hitung hitungan yang njlimet , sehingga lempar batu sembunyi tanganpun dilakukanlah.

Konteks dwifungsi yang katanya usang  kenyataanya tidak begitu , kekuatan Abri masih penuh , solid, dan menggurita tidak  boleh dipandang sebelah mata dengan kominitas sipil , Dwifungsi yang berupa kontrol Abri kepada kekuasaan , secara samar dan massif  masih dilakukan dengan alasan NKRI  atau untuk pertahanan ke dalam, dwifungsi berupa kontrol ABRI ini  sangat ragam bentuknya , ada bentuk back up kepada kelompok tertentu , pengusaha tertentu, dan perusahaan perusahaan multinasional Negara. , jaminan politik dan ekonomis para jendral yang dijamin perusahaan Asing dan multi nasional tidak terbatas di dalam Negeri saja namun di luar negeri ,dengabn fasilitas prevelese, para jenderal memanfaatkan peluang itu untuk berpolitik praktis , mempersiapkannya setelah pensiun, prevelease bisa dinikmati secara institusi maupun personal, terutama bagi senior  ditengah pandangan minor  dan ketidakpastian gelombang politik, bahwa  meningkatnya proporsi kekuasaan  ditangan para mantan ini  sudah diperssiapkan sejak masih dinas di dalam Tentara, dipucuk kedekatan dengan kekuasaan dan perusahaan Swasta. Kedekatan itu dijalin erat sampai purna.gelombang kapitalisme tidak pernah bisa dibendung lagi pat guluipat , kong kalikong mengatur negara dan Swasta dengan debirokratisasi, sehingga masyarakat samar menengarai mana kekuasaan negera dan mana kekuasaan pribadi, dari waktu ke waktu para penguasa dan pengusaha dibakingi ABRI dan Polisi  secara otomatis , sehingga supremasi hukum dari mulai pucuk  pimpinan sampai ke  akar rumput , sangat sulit ditegakkan.

Dari waktu ke waktu selalu modusnya selalu begitu,pengusaha berebut kursi empuk kekuasan dengan bersinergi dengan militer dan polisi, membuat rekayasa kasus , menciptakan opini kekuasaan draconian ( Mereka melakukan eksekusi sewenang wenang , membakingi perusahaan dan koorporasi, menagihkan hutang , membakingi mafia, menangkap , menahan secara sewenang-wenang, menembak di tempat, menculik aktivis, meracun penegakan hukum, melakukan intimidasi penganiayaan dan penyiksaan, sensor, bredel, bongkar paksa, tekanan politik, rekayasa rekapitulasi, semua dijalankan secara massif bergandengan dengan penguasa Incumben dengan menulis tema tema klasik dan menyaring wacana opposisi dengan dalih kontrol sosial kenegaraan. Money loundry pun terjadi dimana mana , menggurita  dari hulu sampai hilir. Tak ada batang kangkung tersisa , selama bisa di sayur ya di  sikat saja se akar akarnya. Kontrol parlemen dilancarkan , parlemen yang memiliki pendapat tidak sejalan dengan negara , disikat , disiksa , disingkirka.pembatasan aktivitas akademik di medan politik, dilakukan di depan meja hijau , peradilan publik tanpa sidang untuk membatasi kebijakan luar.

Legalitas legalitas segera dilakukan, normalisasi relasi kekuasaan sangat sadis mengabaikan kemanusiaan dan kemasyarakatan, kudeta secara halus dilakukan.para pembangkang disikat dan dipinggirkan, kudeta tahun 1965  dilakukan lagi, penculikanpun dilakukan, ada paksaan paksaan traktat secara terbuka , kendatipun tak langsung berkaitan dengan pemilihan, tetapi keterpihakan itu sangat kelihatan sekali, persyaratan mencoblos dipermudah, tak perlu dengan undangan pemilih , siapapun bebas  asal ada keterangan walaupun tidak terdaftar daftar pemilih, ini jelas pembodohan konstituen ,keterwakilan tidak penting sebab politik dagang suara bisa dilakukan mulai di TPS sampai KPU,penguasa makin beringas menyewa preman politik dan genster  untuk membunuh lawan politik, pemikat dan tongkat kekuasaan diestafetkan melalui dinasti, jani janji good governance ibarat menggoyang kursi  tetangga , membersihakan rumag sendiri dengan membawa  sampah yang lebih banyak Lagi, yang makin membuat rumah makin kumuh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun