Disaat kita melakukan sesuatu yang tidak tahu arahnya dan tujuannya terkadang ada keraguan sehingga ada istilah yang biasanya seperti kucing di dalam karung , yaitu segumpal keraguan kita kepada kejadian yang ditutup tutupi , entah oleh label atau oleh sistem. istilah jawa ini sangat kental dengan istilah kucing, seperti mandi kucing, yaitu mandi yang nggak pakai air, nggak pake handuk, nggak pake sabun dan pakai sikat gigi, beda dengan mandi madi dan bermandi dengan madu, kita yang selama ini diabaikan oleh istilah jawa, dan jawanya diabaikan seringkali mengabaikan nilai nilai jawa yang selam ini dipegang, seperti kacang ninggal kulit, seperti gajah ngidhak rapah,betapa banyak istilah jawa yang tidak pernah kita baca sebagai bekal bersikap , bertindak dan berbicara, sehingga kita mudah sekali tersinggung ketika istilah jawa itu dikramanisaikan, dibumikan ke persada Nusantara kita ini. orang jawa yang njawani dan tahu khasanah kejawaannya tidak mungkin bisa meninggalkan nilai nilai jawanya ,orang jawa yang benar benar jawa pasti menghormati nilai nilai jawa, bukannya ada orang yang berbicara baik dan benar dengan bahasa jawa langsung dikepras dan diperkarakan polisi lantaran salah persepsi dalam berbahasa.
Dalam filsafat Jawa banyak istilah yang disemiotikkan dalam pasemon jawa , sehingga orang jawa latah sekarang ini benar benar ketinggalan latar jawanya , apalagi kok ngerti ke dalam bahasa jawa itu sendiri. mari kembali mengukir kisah sejarah lembaran bahasa Jawa yang ditinggalkan , sehingga karena pasemon jawa dikatakan di ujaran saja dianggap hate -speech, itu sunggguh sungguh Face treathening area dalam bahasa jawanya ngidoni raine kancane, atau menjangkar atau ngemperi jagade liyan, kata seorang Dosen Bahasa di UNNES waktu penulis menempuh jurusan sastra dulu jangan menggoyang pantat bangsa. nantu kalau bangsa ini marah negara pasti Goyah, ya jangan jauh jauh dari khasanah nilai nilai luhur budaya jawa yang adiluhung yang selama ini kita anut.
Kita orang jawa mau di arab -arabkan ya tentunya susah banget susahnya ,karena walaupun disemon semonkan akan tetap bertentangan karena tafsir heurmeneutiknya jauh berbeda, saya yang pernah hidup di Solo delap tahun , di Yogyakarta 6 tahun dan kembali ke pesisiran kembali, sebagai sama sam jawa saja kulturnya agak berbeda, ujarannya berbeda, apalagi untuk luar jawa, tak ada yang lebih dan yang, kurang, budaya adiluhung , sopan santun , andap ashor, unggah ungguh sangat perlu agar tiap kita saling ngajeni posisi dan peran kita masing masing di dalam kancah bermasyarakat tak ada yang terlalu lebih dari yang lain selalu ada sisi kerku\ranagnnya tinggal bagaimana kita mengelola kekureangan itu menja di potensi yang mendngkrak kelebihan kita, artikel ini hanya menggugah kesadaran bersama agar kita sebagaia masyarakat berbangsa indonesia menghargai menghormati tradisi suku, antar budaya antar agama dan antar tradisi tanpa harus sikut sikutan, dan membanding bandingkan sebagai muara cekcok dan sumber konflik kedaerahan, kesadaran itu harus kita pupuk untuk agar kembali kepada jati diri kita sebagai bangsa indonesia , bersatu kita teguh bercerai kita runtuh , jaya jaya wijayanti , lebur dening pangastuti . matur nuwun . Hartiniwiropajar41 Pati/blog.spot
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H