Hatim Gazali
Islam tak lagi dikuasai oleh seluruh pemeluknya, tapi oleh hanya segelintir orang. Mudah saja seseorang mengklaim sesat terhadap yang lain. Tak perlu melakukan ijtihad dan membuka literatur, seseorang bisa dituduh kafir, sesat, murtad dan sebagainya. Yang tak sesuai dengan keinginannya, yang tak melakukan seperti dirinya, dan yang tak berkeyakinan seperti yang dipeluknya, mereka itulah orang kafir dan sesat yang harus dibunuh.
Tengok saja tuduhan pengkafiran terhadap suatu keyakinan dan pemikiran. Tak hanya kepada kepada kelompok keyakinan seperti Ahmadiyah, pengkafiran juga dengan mudah dilabelkan kepada seseorang seperti yang dialami oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur, alm), Ulil Abshar Abdallah dan lain sebagainya. Tak juga hanya berupa tudingan oral, tapi pengkafiran kerap berujung pada penyerangan, penolakan dan kekerasan.
Yang paling mutakhhir adalah penolakan beberapa orang terhadap kehadiran Irshad Manji pada acara diskusi di Salihara Jakarta (04/05) dan CRCS-UGM Jogjakarta (09/05). Sebelum mengerti dan mendalami pemikirannya, beberapa orang menolaknya. Akibatnya, yang terjadi bukan penolakan terhadap buah pikirnya melainkan menjadi penolakan terhadap orangnya.
Vonis Kafir hanya milik Tuhan
Di zaman nabi Muhammad, tak ada pengkafiran atau tuduhan sesat terhadap seseorang ataupun kepercayaan lokal. Sebaliknya, Muhammad saw sangat akomodatif terhadap kepercayaan-kepercayaan lokal. Kendati memiliki kepercayaan yang beragam, toh Muhammad tetap terhormat dan dihormati. Bahkan, sedemikian akomodatifnya sehingga nabi membuat perjanjian Madinah.
Dalam al-Qur’an juga telah disebutkan bahwa klaim sesat dan kafir terhadap seseorang hanyalah milik Allah semata. Tak ada kewenangan merampas hak Allah, kecuali hanya bagi yang hendak mempersekutukannya. Karena itulah, dalam sejumlah kitab kuning disebutkan bahwa siapapun yang mengkafirkan orang, berarti yang menuduh itulah kafir. Jika menuduh sesat dilarang, apalagi melakukan kekerasan.
Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh kelompok yang “merasa paling islam” itu sama sekali tak mencerminkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian yang dibawa oleh Islam. Memang, bertoleransi kepada kejahatan merupakan tindakan yang tak bermartabat. Tetapi, apakah orang-orang yang memiliki kejahatan yang berbeda merupakan sebuah tindakan kejahatan?
Saya mengamati bahwa belakangan ini islam semakin mengalami penyempitan. Islam tidak lagi akomodatif terhadap kepercayaan-kepercayaan lokal dan perbedaan agama. Ditangan kelompok minoritas yang merasa paling berkuasa itu , islam direduksi hanya menjadi sebuah agama yang sempit; selain dirinya adalah salah dan sesat.
Tujuan perjuangan yang terdengar dari suara mereka adalah untuk menjunjung tinggi kebesaran Allah. Sebuah tujuan yang sangat mulia dan layak didukung. Tetapi, tindakannya sama sekali tak mencerminkan kemuliaan tujuan tersebut. Teriakan takbir bukan untuk melakukan kebaikan, tetapi justru melakukan tindakan kekerasan.
Model seperti “preman berjubah”-kah islam itu? Saya tidak tahu. Saya memiliki keyakinan kepada Islam yang berbeda dengan para preman berjubah. Saya percaya bahwa Islam yang saya peluk adalah ramah terhadap perbedaan keyakinan, kepercayaan dan agama. Saya juga percaya bahwa jalan kekerasan bukanlah tindakan yang mulia. Karena itulah, saya tak mau menjual nama-nama Tuhan hanya demi egoisme semata. Jika pemahaman saya terhadap Islam ini dituduh sesat, tunjukkan kepada saya Islam yang benar itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H