Mohon tunggu...
Hatim Gazali
Hatim Gazali Mohon Tunggu... -

Lecturer at Sampoerna School of Education (SSE), free writer and researcher. Alumnus of Center for Religious and Cross Cultural Studies

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bhineka Tidak Tunggal Ika

16 September 2011   04:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:55 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sesat”, kata itulah yang terekam dalam ingat bangsa Indonesia ketika menghadapi perbedaan. Sudah sederet keyakinan yang divonis sesat. Ahmadiyah, Lia Eden, al-Qiyadah, Bahaie dan beberapa daftar lainnya. Tak cukup dengan claim sesat, tapi juga acapkali dilampiri kekerasan. Argumen-argumen teologis pun menjadi legitimasi.

Konon, Indonesia adalah negara yang ramah, toleran dan santun. Sedemikian santun dan toleran hingga ketika batas negara dan warisan budaya diganggu negara lain pun negara kita tak punya taring. Bahkan, terhadap kejahatan dan korupsi ditoleransi. Namun, begitu antusias jika merespon perbedaan, hingga darah orang lain dipandang halal.

Perbedaan itu bukan lagi rahmat. Bukan pula bhineka tungga ika seperti ungkapan Mpu Tantutlar. Bahwa, walaupun beragam, tapi berada dalam satu kesatuan. Tak ada istilah pluralisme, multikulturalisme, ataupun istilah-istilah lain. Istilahnya sederhana, bhineka. Ungkapan Mpu Tantular itu bukan sebuah istilah filosofis yang dirancang oleh para ilmuwan, tapi pembahasaan akan realitas. Sebab, tindakannya jauh lebih kuat dari kata-katanya. Mpu Sendok (929) yang beragama Hindu menikahkan putrinya dengan seorang Buddhis, Lokapala. Di masa kerajaan Majapahit (1293-1528), para raja selalu dibantu oleh dua Dharmadyaksa; Dharmadyaksa ring kasogatan (Buddha) dan Dharmadyaksa rung kasaivan (Hindu).

Memang, di Nusantara ini tak hanya terdiri dari satu kelompok keyakinan dan etnis tertentu, tapi jamak. Terhadap ketaktunggalan ini, vonis sesat adalah yang paling lumrah terjadi. Istilah sesat—walaupun tak begitu jelas ukurannya—sudah sangat populer digunakan oleh masyarakat dan pemerintah. Tahun 1960-an, Indonesia telah membentuk Lembaga Pengawasan Agama dan Kepercayaan Masyarakat (PAKEM), sebuah instrument untuk mengontrol keyakinan warganya. Sudah puluhan keyakinan yang mendapat label sesat.

Maka, ungkapan bhineka tunggal ika tidak lagi signifikan, karena hanya menjadi diskusi filosofis, perbincangan akademis, bukan sebuah rekaman atas realitas. Faktanya, masyarakat lebih mudah memusuhi perbedaan ketimbang mentoleransi. Ke-bhineka-an tak bisa lagi dipersatukan oleh sebuah sebutan “Indonesia” ataupuan “Nusantara”.

Yang terjadi bukanlah merayakan perbedaan tersebut, tetapi justru semangat menjadikan satu. Harus disadari—walaupun perlu diperdebatkan—istilah bhineka tunggal ika memiliki kecenderungan menyeragamkan keragaman. Pemahaman ini tak hanya terefleksi dari makna generik kata tersebut, tapi juga terpotret dari kondisi agama dan keyakinan di Indonesia yang hendak direduksi menjadi enam agama, seperti yang diakui pemerintah. Masyarakat-pun “mengamini” dengan kegampangan melontarkan kata sesat kepada diluar enam tersebut. Majelis Ulama Indonesia (MUI) semakin menjadi hakim pengadilan atas sesat-benarnya suatu keyakinan. Padahal, baik kitab suci ataupun akal pikiran bisa segera menyimpulkan akan relativitas keyakinan, sehingga hanya ditangan Tuhan keputusan final apakah seseorang sesat atau tidak. Tak ada kata sepakat dalam mengimajinasi dan mengilustrasi tentang hal yang sangat mendasar dalam agama, Tuhan.

Karena setiap kepala memiliki konsepsi yang berbeda-beda, sebanyak kepala pula jumlah keyakinan yang ada. Dan, kepelbagaian konsepsi dan keyakinan tersebut tidak mungkin bisa disatukan, kecuali dalam hal-hal sekuler. Al-hasil, disamping pertimbangan kritis istilah Bhineka Tunggal Ika dan pemaksaan untuk menseragamkan karena alasan tersebut, maka saatnya menyatakan Bhineka tidak tunggal Ika. Bukan untuk separatisme, tetapi dalam rangka menghindari penyesatan dan penyeragaman atas keragaman keyakinan yang ada.

Dipublikasikan di e-Newsletter Relief CRCS, November 2009.Untuk artikel-artikel lainnya sila berkunjung ke http://gazali.wordpress.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun