Kaum marginal di kota-kota besar tinggal—bahkan beranak-pinak—di bantaran kali, sepanjang rel, kolong jembatan atau slum area lainnya. Dengan kondisi lingkungan tersebut seringkali, jika diamati baik-baik, kita dapat melihat pola mata pencaharian yang identik. Kalau tidak mulung botol di tong sampah, yaa mengais rupiah di lampu merah. Ataupun yang sedikit lebih estetis dan skillful menjetikkan jemari pada senar gitar, menabuh rebana, atau mengocok kecerekan sembari menyanyi bak musisi berpanggung jalanan.
Berbekal dari mengamati tendensi yang ada terhadap pola mata pencaharian penduduk pinggiran kota, saya dan teman-teman saya berinisiatif mengadakan social project bernapaskan pendidikan dan kewirausahaan kepada anak-anak di kampung Da’o (Bandan), Pademangan, Jakarta Utara. Dengan harapan, paradigma anak-anak ini bisa digeser sedikit bahwa mencari uang tidak melulu harus memulung, mengemis, mengamen dan bergantung pada iba orang lain.
Melalui perantara sebuah kepanitiaan yang diwadahi oleh BEM fakultas, kami, seperti kebanyakan orang, mengadakan program antikemiskinan. Program kami bernama Tabah (Tanam Bahagia) memiliki konsep kegiatan mengajak sekaligus mengajarkan anak-anak kampung Da’o untuk menanam suatu komoditas tanaman (sayuran) dan menjual hasil panennya kepada kami. Tanaman yang kami pilih adalah kangkung, tentunya dengan beberapa alasan.
Pertama, kangkung dinilai cukup mudah perawatannya oleh pemula, terutama untuk anak-anak. Mendengar pengalaman dari salah seorang teman, kangkung bisa tumbuh dengan liar di bantaran sungai. Sehingga kali ini kami berfokus pada perawatan agar kangkung dapat tumbuh dengan optimal.
Kedua, masa panen kangkung yang relatif cepat sekitar 4-5 minggu (sebulan). Anak-anak kampung Da’o pun dapat segera menuai ‘buah’ dari apa yang mereka semai.
Ketiga, media tanam kangkung yang fleksibel dan tidak memakan lahan. Proyek Tabah kali ini menggunakan media tanam hidroponik untuk menanam kangkung. Peralatan maupun perlengkapan yang dibutuhkan pun sederhana dan terjangkau: botol air mineral ukuran 1,5 liter, dua buah gelas air mineral, arang sekam, cairan nutrisi dan bibit kangkung.
Ketika mencapai masa panen, kangkung kemudian kami beli dengan harga di atas pasaran untuk selanjutnya dapat kami olah (sempat terpikir ide untuk membuat keripik kangkung) atau jual kembali di pasar. Pun sebenarnya tidak harus dijual kepada kami anak-anak tersebut dapat memetiknya sendiri untuk membuat sayur kangkung atau lalapan yang menemani nasi. Sehingga anak-anak tidak hanya mendapat keuntungan secara materi, tetapi juga rasa bahagia memiliki sebuah tanaman yang dijaga, dan yang lebih penting lagi mereka mendapat pengajaran baru dalam menghasilkan uang. Upaya perawatan juga dipikirkan secara matang. Kami membagi tim piket, untuk berkunjung seminggu sekali ke kampung Da’o, yang bertugas mengontrol dan mengevaluasi pertumbuhan kangkung.
Lima minggu berlalu, terhitung dari waktu pengamatan awal, kami mengirimkan tim kontrol yang kebetulan saya salah seorang di antaranya. Alangkah terkejutnya saya ketika melihat kampung Bandan digusur! Penggusuran pun tak terelakkan,—memang sudah sesuai prosedur yang berlaku—kami hanya bisa melihat dengan iba, mewawancarai petugas dan satu-dua orang penduduk setempat. Kandas sudah niat kami untuk melakukan kontrol. Keadaan hectic dan tiap orang yang sibuk menyelamatkan barang-barang yang bisa diselamatkan menjadi alasannya. Cerita berlanjut, sebulan kemudian, salah seorang teman sekepanitiaan menge-share berita di grup media sosial: kampung Bandan kebakaran! Kami tanpa pikir panjang melakukan penggalangan dana dan bantuan materi lainnya untuk disumbangkan kepada korban kebakaran.
Pandangan yang Keliru