Mohon tunggu...
Hate Monday
Hate Monday Mohon Tunggu... -

Pegawai Negeri

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Revolusi Mental - Sampah

21 Oktober 2014   22:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:13 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tadi pagi seperti biasa saya berolah raga pagi (jogging) di seputar Monas, kebetulan kantor cuma seberangnya Monas.    Alangkah terkejutnya saya melihat sampah-sampah berserakan di mana-mana, mulai dari sampah plastik (botol), bungkus kacang, puntung rokok, sampai kaleng bir, dll.     Kemarin Presiden terpilih bapak Joko Widodo mengikuti pesta rakyat di Monas hingga malam hari.    Saya jadi ingat ucapan beliau soal "revolusi mental" .    Saya cuma berpendapat seharusnya bapak Jokowi bisa memulai "revolusi mental" dari hal-hal yang sangat sederhana, misalnya soal sampah.    Seandainya pada saat pertama tampil di panggung beliau berkata "saudara-saudara, mari kita mulai revolusi mental dengan tidak membuang sampah sembarangan"  saya yakin sampah yang berserakan tidak akan sebanyak yang saya lihat pagi ini.

Buang sampah sembarangan merupakan "penyakit kronis" bangsa kita, tidak di kota tidak di desa semuanya sama saja.    Saya berpikir bagaimana cara efektif untuk mendidik bangsa ini menjadi bangsa yang berbudaya, dimulai dari buang sampah pada tempatnya.    Saya tidak menyombongkan diri namun sampai detik ini saya adalah orang yg pantang membuang sampah sembarangan.   Dari mana kebiasaan ini muncul?    Saya ingat sekali didikan orang tua yang mengajarkan jangan membuang sampah sembarangan, beliau menjelaskan "coba kamu bayangkan jika plastik bungkus permen ini kamu buang di selokan, bagaimana jadinya kalau ribuan orang melakukan hal yang sama...bisa-bisa mampet semua selokan yang ada, akibatnya banjir......"   Ucapan beliau sangat terpatri di dalam hati saya, sampai-sampai jika tidak ada tong sampah yang saya temui, otomatis bungkus permen langsung saya kantongi di celana.   Hal itupun saya ajarkan kepada anak-anak saya dan Alhamdulillah berhasil.

Maksud dari cerita ini adalah bahwa untuk mengajarkan hal-hal baik (budi pekerti) yang sederhana dimulai dari keluarga.    Hal-hal seperti tidak membuang sampah sembarangan, memungut paku di jalan, patuhi rambu lalu-lintas, antri pada tempatnya, dll adalah nilai-nilai kebaikan yang "common sense" artinya orang "waras" akan dengan mudah melakukannya.    Nah yang terjadi di negara kita adalah sebaliknya.  Parahnya tingkat pendidikan dan tingkat sosial seseorang tidak serta merta menunjukkan "pemahaman" tersebut.   Saya pernah melihat sebuah mobil mewah BMW melintas dan tiba-tiba jendela dibuka dan botol aqua keluar dari dalam mobil.    Saya geleng-geleng kepala, kok bisa-bisanya orang dengan tingakat sosial tinggi tapi tidak punya etika dan sopan-santun.     Kesimpulannya adalah bahwa penanaman nilai-nilai budi pekerti yang sangat sederhana dimulai dari keluarga, berarti betapa besarnya peran orang tua dalam membentuk kebiasaan seseorang.     Cara yang paling efektif dalam mendidik adalah dengan memberikan contoh yang benar.

Saya berharap banyak kepada Bapak Jokowi yang sekarang telah resmi menjadi Presiden RI ke-7.  Slogan beliau "revolusi mental" sangatlah mengena dengan permasalahan yang sedang kita hadapi.    Marilah kita bersama-sama bersatu membantu beliau untuk mewujudkan "revolusi mental" dimulai dari unit terkecil yaitu keluarga dan mulailah dengan hal-hal kecil dan sederhana seperti tidak membuang sampah sembarangan.    Semoga tulisan ini bermanfaat.   Salam.....merdeka!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun