Belakangan saya sadar, rekan saya punya kemampuan bahasa ini dengan sangat baik karena dimulai dengan rasa minat, dan sesuatu yang menyenangkan. Film, komik, atau apapun. Bisa jadi dugaan saya salah, tapi rasanya mendekati kebenaran.
Saya sadar impresi buruk saya tentang bahasa ini salah besar. Itu mempengaruhi minat dan "kenyamanan" belajar. Dan saat itu, saya merasa sudah terlambat membangun itu semua. Yang bisa saya lakukan minimal, bagaimana bisa survive. Maka strategi saat SMA kembali diterapkan. Minimal lolos UTS-UAS pelajar ini. Minimal bisa ngerti buku teks yang diperlukan saat bikin laporan praktikum, mengerti referensi untuk bikin skripsi, dan seterusnya.
Pada akhirnya, kemampuan bahasa saya tetap buruk. Grammar masih berantakan. Ringkasan skripsi saya dalam Bahasa Inggris habis "dicacah" dosen pembimbing. Pronounciation saya kacau balau. Salah satu dosen saya saat itu suka "membully" saya dengan menyebut Inggris Blitar, tanpa Timbuktu. Bahkan dalam suatu wawancara di ajang tertentu, dosen dari fakultas lain "menantang" saya untuk mengucapkan kata "high" secara benar. Dan ketika saya dengan percaya diri mengucapkan "haig" (dengan "g" kental"), respon sang dosen cuma, "Oh".
Saya terpaksa belajar bahasa ini lagi karena persyaratan studi di luar negeri. Entah meningkat atau tidak hasilnya, tapi tetap itu bagian dari strategi survival saya. Setidaknya dalam berkarir di bidang saya. Sampai sekarang, strategi "survival" ini masih saya lakukan. Pada tahun-tahun awal di Jepang bahkan pernah "tercampur" Bahasa Inggris dan bahasa asal. Dengan lantang saya menyebut "Loop 7" Â dengan literasi `lup tujuh` di depan semua orang saat presentasi. Yang lain melongo tidak faham. Sementara dua senior saya dari Indonesia cekikikan di kursi belakang.
Strategi yang salah tentu saja. Tapi tidak ada pilihan lain. Kombinasi antara keterbatasan kemampuan liguistik dalam otak saya dengan impresi yang buruk adalah kombinasi dahsyat untuk merusak kemampuan bahasa saya.
Dan saya tidak ingin menurunkan ini ke anak saya.
Cilakanya, berbeda dengan saya yang menganggap bahasa ini susah, anak saya justru memandang remeh bahasa ini. Benar-benar memandang remeh. Efek dari nilai tinggi saat ujian awal. Ujian berikutnya dia menolak belajar, atau malas-malasan belajar dengan alasan : gampang !Â
Hasilnya? Jeblok ! Alasan yang dia bangun : buru-buru saat ujian.
Hasil jeblok tidak membuat dia kapok. Beberapa hari lalu mengulang lagi "malas-malasannya". Hasilnya ? ya "My father is a jikken" !
Bapa dan anak berada dalam dua kondisi ekstrem yang bertentangan. Yang satu merasa sangat susah, yang kecil menganggap super gampang.Â
Efeknya? sama-sama males belajar !