Mohon tunggu...
Hatara
Hatara Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pemuda Cinta Qur'an

Kita hanya perlu sedikit lebih bersabar lagi, itu saja, sesudahnya akan bahagia. Dunia, hanyalah fatamorgana.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Seusai Pertemuan Itu

6 Agustus 2022   06:14 Diperbarui: 6 Agustus 2022   17:51 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Setelah dua pasang bola mata itu melesat pandang jauh, di bulan Juni yang lalu, terpisah, terhalang dinding rasa takut, dan tabir waktu yang menyekat temu, semua seketika berlalu hilang tenggelam bersama matahari di hari itu, tidak tahu kapan lagi bisa bersua. Mungkin saban waktu memberi restu. Semoga. 

Dalam jarak yang tidak tentu ini, dan pada tempat yang tidak terjamah ini, disitu tidak lagi kutahu kapan aku bisa melihatmu, sebenarnya kamu tinggal di mana? Rumahmu dimana? Bisakah mengabariku? Aku hanya ingin bertemu, itu saja, tak perlu ada sahutan sapa apalagi balasan suara. Tidak usah.

Disini, di tempat yang selalu ada kamu di hatiku, masih setia aku mendoakanmu, mengharapkan mu. Dalam diam ku, berharap kamu baik-baik saja. Pintaku, kau senantiasa dalam lindungan-Nya. Puan, bisakah lagi kita berjumpa?

Sementara, sejak persuaan itu, masih saja ada hal yang begitu terasa tertinggal di tempat pertemuan itu, walau meski tiada kata yang terucap disitu, namun hati dan pikiran bernarasi sendiri menyikapi secara utuh. 

“Ini adalah tempat kedua kalinya aku melihat mu di depan ku secara utuh.” Ujarku setiap kali melewati tempat pertemuan itu. Visualisasi rekaman ingatan hari itu kembali datang menggambarkan dirimu yang sedang berjalan merengkuh buku tebal, merapal ayat-ayat atau mungkin sholawat. Sengaja aku berdiri di tempat yang kau singgahi itu,

"Waktu itu, aku melihatnya singgah dan membeli aqua di sini. Ia membuka pendingin ini. Lalu bertanya harga yang ia beli.” 

Gumamku lirih. masih kudengar suaranya disini. Bahkan sampai saat ini masih jelas nadanya. Aku mengingatnya. Kemudian aku membuka pendingin, perlahan kurasakan hangat tangannya disitu, apakah ia masih sendiri? Ketika usai nanti apakah masih ada kesempatan dan waktu untuk bertanya dan berterus terang padanya? Tanyaku. Semoga saja. Lanjutku.

“Saya beli satu aqua, Paman.” Ujarku memberikan uang. Dulu ia juga begitu. Ramah, suaranya berirama. Kemudian aku berpaling lalu pulang. Sungguh perasaan yang begitu dalam. 

Apakah dikau tahu? Mungkin saja tidak. Bahkan nyatanya tidak. Tapi, bagaimanapun, perasaan akan tetap perasaan, hilang dan bertahan tergantung takdir yang menetapkan.

Giza, 06 Agustus 2022


@hatara

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun