Mohon tunggu...
hata madia kusumah
hata madia kusumah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S1 Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

Selanjutnya

Tutup

Money

Pertanian! Jadilah Pemenang di Indonesia

13 Februari 2011   01:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:39 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Sulit! Susah! Mustahil! Kata-kata itu mungkin yang keluar dari sebagian besar penduduk Indonesia ketika ditanyakan mengenai kemungkinan membangun ekonomi bangsa melalui sektor pertanian. Mulai dari pejabat teras hingga rakyat biasa, tidak akan ada yang seratus persen yakin akan hal itu. Tidak dapat disalahkan memang, karena pemikiran pertumbuhan ekonomi di negara ini sudah terlampau terlena dengan iming-iming perkembangan ekonomi dengan dasar utama industri. Padahal itu hanya jebakan dari negara-negara kapitalis dan liberalis yang tidak menginginkan negara-negara seperti Indonesia untuk maju. Jika dipikir lebih dalam tentu saja kita sadari bahwa sektor industri tanpa sektor pertanian yang kuat, hanya akan menghasilkan sebuah fenomena selfdestruction. Hal ini dikarenakan ketika industri ingin berproduksi namun tidak memiliki bahan baku yang akan diolah, maka akhirnya tidak ada pilihan lain selain impor. Hal ini berlaku terutama bagi industri-industri besar yang justru memberikan efek makro yang besar bagi perekonomian negara. Kesalahan kebijakan di masa lalu telah menyengsarakan sebagian besar anak bangsa yang pada umumnya berprofesi sebagai petani.

Paradoks yang sangat kompleks dan menyedihkan tengah terjadi di Indonesia. Sebagai negeri yang kaya akan sumber daya, kita masih saja bergantung pada negara lain. Data dari Dedagri menyebutkan bahwa impor bahan baku tumbuh 16 persen dalam periode Januari-April 2007 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hingga saat ini sebagian besar konsumsi daging, susu, apel, jeruk, dan produk pangan lainnya masih kita datangkan dari luar negeri. Lihat saja perilaku kita sehari-hari, kita lebih senang makan jeruk ’sunkist Taiwan’, kita lebih senang mengkonsumsi daging dari Amerika Serikat. Padahal kita semua tahu belum tentu mutu dari barang impor itu lebih baik dari produk yang dihasilkan di dalam negeri sendiri. Padahal jeruk potianak jauh lebih baik, padahal daging dari Lembang lebih sehat dari daging US-prime. Kita benar-benar telah masuk ke dalam foodtrap negara adikuasa.

Semua itu memang sudah terjadi sejak lama, dalam 15 tahun terakhir Indonesia juga beberapa kali mengalami krisis (termasuk krisis pangan) yang mencapai puncaknya pada tahun 1997-1998. Indonesia pernah masuk atau pernah masuk daftar 10 importir terbesar untuk beberapa komoditas pangan strategis, seperti beras, kedelai, terigu, dan gula yang kini seluruhnya mengalami lonjakan harga di pasar global. Perekonomian kita pernah porak-poranda diterjang resesi global, semua indikator makroekonomi kita jatuh dan terpuruk, harga indeks saham anjlok, nilai tukar merosot tajam, dan tiba-tiba saja utang luar negeri kita yang dihitung dalam dollar meroket tinggi. Namun kita pun tahu, di tengah-tengah kondisi seperti itu, sektor yang tetap bertahan menunjang kehidupan bangsa ini adalah pertanian. Di saat sektor-sektor lain mengalami stagnasi bahkan pertumbuhan yang negatif, pertanian justru menunjukan pertumbuhan yang positif yaitu sekitar 3% sampai 4%.

Yang menjadi pertanyaan kini, mungkinkah Indonesia membalikkan kondisi keterpurukan tersebut dan menjadi salah satu dari pemenang (winner) dari krisis pangan global, dengan mengambil peluang booming harga komoditas pertanian di pasar global saat ini untuk keluar dari kemandekan perekonomian selama ini.

Secara rasional, lonjakan harga di pasar dunia yang diikuti dengan kenaikan harga di dalam negeri akan merangsang petani produsen untuk meningkatkan produksi. Namun, itu tidak akan terjadi dengan sendirinya. Stagnannya produksi beras dan komoditas pangan lain selama ini, antara lain, karena petani kehilangan ’gereget’ menanam, yang dalam banyak kasus pemicunya justru kebijakan pemerintah sendiri. Artinya, jika ingin mempertahankan swasembada, yang pertama harus dilakukan adalah mengkaji faktor-faktor yang selama ini menjadi penyebab produksi terus mengalami stagnasi.

Peningkatan produksi hanya bisa terjadi jika ada upaya peningkatan produktivitas (baik lahan maupun tenaga kerja), perbaikan teknologi budidaya, menjamin sarana produksi pertanian seperti pupuk, bibit dan obat-obatan, memperbaiki infrastruktur dan kelembagaan pertanian, memperbaiki rantai pemasaran dan distribusi, serta merevitalisasi kegiatan riset dan rezim perdagangan. Untuk beras, pengalaman swasembada tahun 1984 menunjukkan secara teknis swasembada bisa dicapai dan ini juga berlaku bagi komoditi-komoditi lainnya.

Dari aspek sumber daya lahan, di atas kertas, berdasarkan data Departemen Pertanian, masih sangat besar peluang untuk dilakukan pembukaan lahan pertanian, antara lain lewat pemanfaatan lahan telantar yang ada. Masih menurut Deptan, dari luas daratan Indonesia sekitar 190 juta hektar, sekitar 101 juta juta hektar bisa dikembangkan untuk pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekologis. Dari luasan tersebut, baru sekitar 64/69,15 juta yang sudah dimanfaatkan menjadi lahan pertanian. Dari jumlah ini pun, lahan sawah hanya 7,7 juta hektar, sisanya tegalan 10,6 juta hektar, perkebunan (rakyat dan swasta) 19,6 juta hektar, kayu-kayuan 9,4 juta hektar, dan 12,4 juta hektar masih berupa semak belukar atau alang-alang. Selain itu, permintaan yang tinggi akan produk-produk pertanian baik dalam maupun luar negeri membuat pasarnya semakil luas.

Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa peluang pengembangan sektor pertanian masih terbuka lebar di negeri ini. Prospeknya begitu cerah, bahkan untuk beberapa tahun ke depan pertanian dapat menjadi penyumbang utama pendapatan APBN Indonesia. Sebagai civitas ekonomi dan manajemen, hal ini tentu saja menjadi tantangan bagi kita ke depannya, bagaimana pertanian dapat menjadi raja di tanah airnya sendiri. Keyakinan ini harus terus kita jaga karena tidak ada yang dapat menghambat kita untuk menuju kedaulatan ekonomi, yang menjadi poin penentu hanyalah kemauan bangsa ini merealisasikan impian dan harapan itu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun