Semenjak saat itu, saya tidak pernah kembali untuk memasuki dimensi tersebut.
Menjadi seseorang yang dititipkan kemampuan yang kadang di luar nalar, pada umumnya, terasa sangat memberatkan. Indigo, sebut saja demikian, menjadi salah satu bagian dalam kehidupan saya yang tidak dapat terpisahkan, meskipun kemudian terpaksa saya lupakan.
Sebelum kejadian, berminggu-minggu sebelumnya, banyak ahli yang memperkirakan gunung merapi akan meletus. Dengan mengaitkan kebiasaan merapi, ramalan dan lain sebagainya yang menjadi kekhasan tradisi lingkungan jawa pada khususnya.
Sampai pada suatu hari, saya mencoba untuk melihatnya secara metafisika, menerawang dalam bahasa yang lazim. kapan sebenarnya merapi akan memperlihatkan kekuatannya.
Gambaran singkat yang saya dapat, saya melihat Sultan sedang tersenyum dengan ekspresi kesedihan tersendiri, merapi masih memerah puncaknya, langit masih tidak terlalu gelap waktu itu sehingga dapat saya lihat sekeliling tempat saya berdiri, Sultan tetap berdiri di samping sebelah kiri, rumah-rumah sudah rata dengan tanah. Saat itu 7 hari sebelum hal tersebut terjadi.
Kemudian dini hari beberapa jam sebelum gempa melanda, dalam tidur ada suara yang terdengar, tolong ke jogja netralkan semua, tolong ke jogja netralkan semua, tolong ke jogja netralkan semua, berulang suara itu memberikan pesan. Sampai saya terbangunpun suara tersebut masih juga terdengar.
Saya tidak melakukan apa-apa, hanya terjaga beberapa menit sebelum akhirnya memejamkan mata kembali. Sekira jam 9 pagi, barulah terdengar kabar yang menyedihkan.