Mohon tunggu...
Hasyim Nawawi
Hasyim Nawawi Mohon Tunggu... Editor - Ngelucu

Suka Ngelucu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kembali Menulis Adalah Kembali Hidup Merdeka

23 Agustus 2024   18:17 Diperbarui: 23 Agustus 2024   18:18 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah lama sekali saya tidak mengunjungi laman ini. Mungkin sudah empat tahun silam sejak saya diperkenalkan oleh seorang kawan pada sebuah platform yang cukup luar biasa ini. Sejak empat tahun silam itu pula, kebiasan menulis sudah terkubur agak dalam. Serta kebiasaan mengikuti, mengamati dan merespon persoalan lingkungan sudah cukup memudar. Semoga tulisan ini dapat mengawali penjelajahan pikiranku lagi.

Bagi sebagian orang, menulis adalah usaha menuju sebuah keabadian. Namun, bagi saya menulis adalah cara terbaik untuk kembali hidup merdeka. Hidup merdeka adalah soal berpikir. Kembali berpikir artinya jutaan sel kembali bekerja dan hati nurani kembali mekar untuk kebijaksanaan, demikian kira-kira.

Tepat dua minggu yang lalu, Saya sangat beruntung dipertumukan oleh algoritma youtube dengan video ekspedisi Indonesia Baru karya Dandhy Laksono, Farid Gaban, Benayu Harobu, dan Yusuf Priambodo. Keempatnya jurnalis tersebut berhasil mengungkap berbagai permasalahan nelayan dan berbagai kebijakan yang berdampak negatif terhadap dunia maritim.

Presmisnya sangat sederhana, "Ketika harga sea food sangat mahal, mengapa nelayan menjadi profesi yang paling miskin?".

Beberapa film dokumenter yang disajikan kembali memberikan tontonan bahwa dunia maritim Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Berbagai konflik dan kebijakan dari pemerintah nyatanya tidak selamanya memberikan dampak positif terhadap dunia maritim. Sebagai negara yang dua per tiga wilayahnya adalah laut, cukup mengherankan jika Indonesia begitu abai dengan bidang kemaritiman.

Sialnya, terkadang kita atau pemerintah tidak sadar bahwa apa yang menjadi giat di darat akan sangat berdampak pada kehidupan di laut. Jika kalian sempat menonton film "Angin Timur", kalian akan dapat melihat betapa mengenaskannya kondisi laut Indonesia hari ini. Tambang Emas Tumpang Pitu telah mengahancurkan kehidupan nelayan Pancer Banyuwangi. Kapal Tongkang pengangkut batubari telah menghancurkan karang cantik di Karimun Jawa. Di daerah saya, delapan tahun silam nyawa seorang aktivis lingkungan harus terenggut karena melawan mafia tambang pasir besi di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang.

Peliknya masalah kemaritiman ini seolah menguap begitu saja. Tidak ada kebijakan yang begitu bijaksana dari pemerintah untuk megentaskan berbagai permasalahan ini. Ini bukan soal ketergantungan kepada negara, namun ini adalah kewijiban dari pemerintah sekaligus hak dari masyarakat sebagai bagian dari warga Negara Indonesia untuk dapat berdaya.

Satu kata kuncinya, "Berdaya". Membuat masyarakat berdaya tentu bukan dengan membiarkan tambak udang ilegal di Karimun Jawa membuat nelayan sengsara dan mengancam keberlanjutan lingkungan serta pariwisata. Membuat masyarakat berdaya juga bukan membiarkan tambang Tumpang Pitu merusak laut dan menyengsarakan nelayan Pancer. Membuat masyarakat berdaya juga bukan dengan membiarkan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan terus terjadi.

Hemat saya, di hari kemerdekaan ini sepertinya semua wajib kembali berefleksi. Merdeka bukan hanya soal pengibaran bendera. Merdeka bukan soal memakai baju adat seolah paling perduli dengan masyarakat adat yang pada realitanya masyarakat adat telah dicerabut dan diusir dari tanahnya sendiri. Merdeka juga bukan hanya soal menghilangkan aroma kolonialisme dengan cara berganti istana dan merusak tempat hidup hewan liar -- sudah bisa dilihat siapa yang sebenarnya lebih liar dan kolonialis.

Sebagai penutup, saya sedikit tergelitik dengan narasi bahwa membangun IKN adalah bagian dari pemerataan pembangunan. Pemerataan pembangunan bukan dengan membangun istana. Membangunan segala macam fasilitas untuk para pejabat juga bukan jalan kelaurnya. Apakah membangun jalan tol, sekolah, dan berbagai fasilitas publik lainnya harus menunggu pembangunan istana terlebih dahulu? Tentu itu terlalu membagongkan. Ini hanya soal political Will.

Pemerataan pembangunan itu membangun fasilitas pendidikan di seluruh pelosok negeri. Pemerataan pembangunan itu memastikan laut tetap ramah untuk nelayan, sawah dan ladang tetap ada untuk keberlajutan hidup petani, serta memastikan hutan tetap ada untuk kemakmuran masyarakat adat dan masyarakat tepi hutan. Terus untuk pejabat dan pengusaha bagaimana? Mereka sudah kaya, santai saja.

Sekian, Dirgahayu Indonesia. Kau akan tetap Indah dan Mengagumkan.

Salam literasi, salam lestari.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun