Mohon tunggu...
Hasyim MQ
Hasyim MQ Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Buka Siapa-Siapa, Hanya Manusia Biasa. Anak Kecil yang Ingin Menikmati Masa Belajarnya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Terbuka? Siapa Takut!

19 Januari 2018   09:02 Diperbarui: 19 Januari 2018   09:05 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata seorang filsuf, "Kekuasaan  itu cenderung korup dan kekuasaan mutlak adalah mutlak korup". Ini pernyataan yang sudah tidak asing ditelinga, apalagi bagi yang mengaku mahasiswa. Babah-pun pada acara "Catatan Najwa" di STAI beberapa waktu lalu, pernah menyitir adagium di atas. Lantas secara jujur, kita timbul pertanyaan begini:  Apa iya memang seperti itu kekuasaan diidentikkan? Jika memang iya, apa permasalahan mendasarnya? Mari kita urai secara sederhana.

Kekuasaan itu adalah wewenang. Kekuasaan itu adalah kekuatan. Kekuasaan itu adalah pengaruh. Dan pengaruh identik dengan posisi. Sedangkan  posisi adalah symbol privasi dan pribadi, ataupun ego personal. Manusia akan cenderung membela posisinya tanpa harus disuruh. Tanpa tersadari, manusia sering membela posisinya dibanding membela orang lain. Jika-pun membela orang lain, ada kecendrungan dia sedang membela dirinya. Jika menusia sudah  membela dirinya, berarti ada hak orang lain sedang tidak dibela. Yang memilukan tentunya, hak-hak itu tercampakkan dan terinjak. Entah tersengaja atau tidak.

Kalau sudah begitu, bagaimana solusi alternatifnya? Karena kekuasaan adalah identic domain privasi, berrati kita butuh kekuatan balik sebagai penyeimbangnya. Kalau kata orang-orang Senayan sih, "kita butuh balancing". Lah emang balancingnya itu apa kakak? Balancingnya adalah domain public. Dengan artian, segala sesuatu yang identic dengan public itulah balancingnya. Dengan begitu, systemnya berasa public. Makanya, dalam ilmu ketatanegaraan, "jika system kelola semakin terbuka, berarti dia sudah  mendekati kesempurnaan. Atau  setidaknya, mendekati sempurna melalui pembenahann berkala, karena mendapat perbaikan dari segala penjuru dann lini".

Jadi begini saja, kalau kita yakin kita benar dan tulus mengakuinya, tentu kita tidak perlu risau dan risih dengan keterbukaan. Apalagi secara sengaja ingin mengikis keterbukaan secara sporadis. Itu namanya "nikung!", kalau kata anak muda sekarang. Mari bicara, mari diskusi untuk membenahi lingkungan kita. Tidak perlu menjalankan gerakan "silent" yang bisa membuat system yang sudah tertata menjadi amburadul. Itu namanya cemen kawan! Pembangunan system sendiri bisa sukses, jika kita berkomitmen dan konsisten untuk selalu membenahi system lampau yang belum sempurna. Ketidaksempurnaan system masa lalu itu bukan  aib, dan tidak perlu dicela. Jadi tenang saja. Kata ABG-ABG sih gini, "cool and smoot aja lah keles...". Bahkan secara real, itu menjadi tugas "PR" bersama yang perlu dicarikan jalan keluarnya. So, mulai saat ini mari bersahabat dengan yang namanya keterbukaan. Dan itu dimulai dengan diskusi secara bersama; secara gotong royong; secara kekeluargaan. So wat gitu loh...!

Note: korup tidak selalu berati "tilep-menilep duwet" itu salah! Salah kaprah!, meskipun selalu dindentikkan dengan "duwet" vroh yak. Keep smile ya kakak. Cemungut eak....!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun