Idiom “Penyebaran hoak tak ubahnya sama bahaya dengan penyebaran narkoba dan pornografi” belakangan santer terdengar dan sangat lantang. Predikat ini muncul di saat publik sudah mulai gerah dengan penyebaran hoak, terutama di dunia maya yang pergerakannya sudah sangat menghawatirkan. Predikat sama bahayanya memang tak berlebihann jika melihat dampak dari penyebaran hoak terhadap korbannya. Berbagai kejadian anarkisme, premanisme beserta sikap tuna adab yang bermunculan belakangan ini ditenggarai oleh konsumsi hoak.
Istilah hoak diperuntukkan bagi berita ataupun info yang kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Hoak merupakan kebohongan yang menyamar sabagai kebenaran; kebohongan yang difabrikasi sehingga para pembacanya muah terkecoh. Hoak berasal dari kata hocus yang tertera pada frasa “hocus pocus” yang seirama dengan frasa bim salabim. Hocus pocusberarti “ini tubuh”. Sebuah frasa yang dipakai oleh para pesulap dalam melangsungkan aksinya. Mereka mengeklaim kebenaran dan memperagakannnya untuk meyakinkan publik, meskipun sebenarnya mereka sedang berdusta dan sedang memperagakan dusta.
Pada perkembangannya, hoak sering dipakai sebagai alat provokasi dan propaganda oleh pihak tertentu. Yang paling sederhana adalah membuat kebinguangan serta keresahan pembacanya. Model provokasi ala hoak sebenarnya sudah ada sejak beberapa abad lalu hingga abad kontemporer saat ini. Pada era perang dunia ke II, propaganda model hoak sudah pernah dibuat. Termasuk propaganda yang paling terkenal selama perang dunia ke II adalah propaganda holocaust. Banyak para pakar menyakini bahwa holocaustmemang dibuat untuk kepentingan politik. Holocaust dimunculkan untuk menggulingkan pemerintahan Nazi dalam pimpinan Adolf Hitler.
Propaganda ini merupakan kehoakan terbesar dan tidak masuk akal pada abad 20 ini, bahwa telah terjadi pembantaian etnis Yahudi yang mencapai angka 6 juta lebih di Jerman. Jika melihat secara seksama, hanya yang tak waras saja yang memepercayai kasus ini. Sebab jika demikian, maka dibutuhkan pembantaian 137 jiwa dalam per jamnya. Sedangkan populasi Yahudi di Eropa saat ini tidak mencapai 20 juta, apalagi jumlah populasi dalam 68 tahun yang lalu yang hanya beberapa camp saja di Jerman, dibutuhkan ratusan camp untuk menampung 6 juta jiwa tersebut. Namun isu holocaust terus bergulir dan tak dapat dibendung, bahkan sampai saat inipun masih banyak orang yang menyakini bahwa holocaust memang benar-benar terjadi.
Mara-Bahaya Hoak
Hoak dibuat dan disebarkan bukan tanpa tujuan, melainkan memiliki serta mengusung beberapa agenda ataupun kepentingan yang terselubung, baik kepentingan politik ataupun yang lainnya; kepentingan yang bersifat individual ataupun kelompok. Kepentingan tersebut bermuara pada setting sossial ataupun setting pemikiran. Para creator hoak− pembuat hoak− menyebar-luaskan kasus hoak untuk menciptakan cara pandang dan pemahaman terhadap suatu hal secara absurd. Ini bisa ditenggarai dengan maraknya hoak saat pesta-pesta politik dimulai.
Hoak memang tidak bisa dihindari, karena hoak akan terus bergulir dengan bergulirnya kepentingan. Hoak seharusnya dihadapi dan diantisisipasi pengaruhnya. Antisipai yang paling sederhana adalah dengan menerapkan filter informasi agar tidak terjebak dalam pengaruh hoak. Namun jika sebaliknya, tanpa menerapkan filter informasi maka akan menjadi pembaca passif yang rentan terhadap pengaruh hoak. Sedangkan pembaca passiflah yang akan dimanfaatkan oleh para creator hoak.Ada dua hal kerugian yang paling inti jika menjadi pembaca passif. Dua hal ini menjadi akibat yang tak terhindarkan dalam setiap kasus hoak mencuat. Dua hal tersebut adalah menjadi manusia bebal dengan terbunuhnya rasa kritis serta mudahnya dihasut dan kemungkinan menghasut sebagai konsekuensi selanjutnya.
Hilangnya kekritisan tentang suatu hal dapat menyebabkan kebebalan, terlebih jika pola seperti ini terus menerus diulang-ulang dan dipertahankan. Sikap tidak adanya kekritisan mengenai sebuah berita yang menjadikan seorang tidak memiliki filter. Setelah tidak memiliki filter, pembaca akan cendrung menyaikini sesuatu hal tidak sebagaimana mestinya. Satu kali, dua kali mungkin akan bisa saja, namun setelah fase ini sebenarnya kebelalan mulai terbentuk. Kebebalan adalah sebuah sifat yang sukar mengerti tentang suatu hal dikarenakan tidak adanya sikap tanggap dan kritis mengenai hal tersebut. Dan orang yang sudah memiliki pola membaca tanpa filter inilah yang akan rentan terhadap pengaruh hoak.
Tidak cukup sampai di sini, Setelah kebebalan terbentuk pembaca akan berlanjut pada kerentanan setelahnya, yaitu kerentanan hasutan. Pebaca passif tadi mudah dihasut untuk mudah mempercayai hoak disatu sisi dan mudah menghasut orang lain yang belum terhasut di sisi yang lain. Dari sini sebenarnya dia sudah naik satu tingkat, bukan lagi hanya menjadi korban hasutan dengan mempercayai hoak, melainkan sudah ikut mengahasut orang lain agar sama-sama percaya dengan hoak yang dipercayainya. Sehingga pada prakteknya dia akan menjalankan hasutannya untuk mengajak orang lain dalam mempercayai kehoakan. Kalau sudah begitu berarti hanya beda tipis dengan creator hoakbukan?
Cerdas Tanppa Hoak
Maraknya hoak memang tidak bisa dihindari, dan hoak akan terus bermetamorfosis. Di manapun, kapanpun, hoak akan terus bermunculan. Yang diperlukan saat ini adalah sikap cerdas dalam mengahadapi hoak. Tabayyun−klarifikasi berita secara kritis− termasuk langkah cerdas dalam menghadapi pengaruh hoak. Melalui tabbayun kita dapat menjadi kritis. Dan sikap inilah yang dikehendaki oleh agama. Agama memberikan arahan, bahwasanya jika ada kabar, sudah sepatutnya para pendengar kabar tersebut mengaklatirikasinya, bukan malah merima mentah-mentah. Bahkan Imam Syafi’i menegaskan, menyebarkan info yang tidak jelas termasuk kebohongan yang samar. Meskipun anda tidak ikut berbohong, namun sejatinya anda sudah ikut berbohong karena telah menyebarkan pemberitaan yang belum jelas kedudukan statusnya.