Mohon tunggu...
Hasyim MAH
Hasyim MAH Mohon Tunggu... wiraswasta -

Berusaha mengusung wacana nasionalisme, pluralisme dan kepedulian pada alam ini dengan disertai pemikiran yang bijak dan arif... Begitu maunya...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reformasi Baru Terjadi di Tingkat Nasional (1/3)

7 April 2010   23:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:55 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="273" caption="sumber: satrioarismunandar6blogspotcom "][/caption]

Kita tahu reformasi sudah terjadi pada tahun 1998. Reformasi ini meski berjalan sangat lambat tapi sudah berjalan di jalur yang tepat. Reformasi sudah on the right track. Misalnya,kita bisa lihat meski penyelewengan dan korupsi masih sering terjadi, tapi kondisi reformasi membuat kita jadi tahu karena semua lambat laun terungkap oleh media.

Reformasi Nasional Sudah Berjalan

Di era reformasi, kontrol di tingkat penyelenggara negara sudah berjalan. Rakyat memilih wakil rakyat (DPR). DPR kemudian memilih capres cawapres. Lalu rakyat kembali memilih langsung presiden dan wapres.

Setelah pemerintahan terbentuk, pemerintahan membuat program pemerintahan dan melaksanakannya. Dalam pelaksanaannya ini pemerintah diawasi oleh DPR. Sampai di sini semua berjalan dengan benar. Hanya saja masih ada 1 kelemahan ketika ada istilah koalisi yang menyebabkan adanya pembagian kekuasaan yang berujung melemahnya kontrol DPR.

Namun, meski pemerintah dan DPR sangat rawan berbagi kekuasaan, masih banyak yang mengawasi gerak-gerik kedua lembaga tinggi negara tersebut. Ada media massa, ada LSM dan ada mahasiswa. Ketiga elemen ini bisa dibilang sebagai bentuk pengawasan oleh masyarakat langsung.

Media massa nasional misalnya, tidak mungkin berani memberitakan yang tidak sebenarnya. Kita tahu sekarang bahwa semakin berani sebuah media mengkritik pemerintah dan DPR, maka media itu akan semakin laris. Jadi meski media masih berkiblat ke sektor modal, namun selera masyarakat memaksa mereka untuk tetap jujur di jalannya. Kalau tidak, siap-siap saja medianya tidak laku. LSM dan mahasiswa pun tidak akan pernah berhenti mengawasi jalannya negara. Kalau ada skandal di lembaga tinggi negara, mereka langsung bergerak.

Nah, meski masih saja kita jumpai korupsi, penyalahgunaan wewenang atau bagi-bagi kekuasaan, tapi semua sudah berhadapan langsung dengan rakyat. Media dengan teknologinya telah membuat reformasi tingkat nasional sudah berjalan di jalur yang tepat.

Namun, sayang reformasi ini masih terjadi di tingkat nasional. Di tingkat daerah (baik tingkat provinsi maupun kabupaten kota), masih jauh dari harapan. Kalau setelah 12 tahun reformasi, kondisi negara terus beradaptasi mencari bentuk yang paling pas, tapi ternyata reformasi di daerah malah SAMA SEKALI BELUM DIMULAI!

Kondisi Di Daerah

Secara singkat, kondisi di daerah bisa langsung kita katakan masih seperti jaman orde baru. Pemerintahan daerah bisa dibilang belum terkontrol. Semua komponen yang seharusnya saling mengontrol secara nyata melakukan korupsi dan penyalahgunaan wewenang bersama-sama.

Kita tahu kejahatan Soeharto adalah kejahatan yang abu-abu. Sampai wafatnya, dia tidak bisa dituduh bersalah. Ini dikarenakan Soeharto mempertahankan kekuasaan dengan "menghidupi" semua komponen negara. DPR dan media, yang seharusnya mengontrol pemerintah, semua dinyamankan dan bersama-sama menghabiskan uang rakyat. Celakanya, semua itu dikerjakan dengan sistematis dan LEGAL! Dan kondisi inilah yang terjadi di daerah. Meski kita tidak bisa menyamaratakan semua daerah, tapi bisa dibilang seperti inilah yang terjadi di banyak daerah.

Mempertahankan Kekuasaan

Yang paling menonjol dari "penyakit" orde baru adalah bagaimana pemerintah daerah mempertahankan kekuasaan alias status quo. Memang, kepala daerah hanya bisa menjabat paling lama 2 periode, tapi soal status quo, lain lagi. Kondisi perpolitikan daerah selalu dibuat sama seperti periode sebelumnya. Hal ini bukan saja kepentingan kepala daerah melainkan kepentingan hampir semua pegawai pemda yang sudah di zona nyaman mereka.

Pegawai pemda pada umumnya ingin punya kepala daerah yang "biasa" saja supaya semua praktik korupsi yang sudah terbiasa berjalan tidak terganggu. Mereka semua ingin agar kepala daerah tidak jatuh pada orang yang punya visi politik reformis. Pemasukan "sampingan" mereka terancam terputus jika kepala daerahnya benar-benar jujur.

Itulah kenapa di banyak pilkada, calon incumbent, atau calon yang didukung incumbent, selalu memenangi pilkada. Dan untuk mempertahankan kekuasaan ini, tentunya calon incumbent menggunakan segala potensi yang ada di pemerintahan. Menjelang pencalonan periode ke-2, kita seringkali melihat betapa banyaknya proyek pemda yang ditunggangi sang kepala daerah untuk berkampanye dan mempertahankan kekuasaan.

Seperti halnya di jaman orde baru, pemda prov/kab/kota semua "mengondisikan" DPR, media, LSM dan mahasiswa untuk tidak mengganggu pemda. Mereka semua "dibina" dan diajak bersama-sama membohongi rakyat. Bedanya dengan orde baru adalah, ketika ada yang tidak bisa "dibina" oleh orde baru, ya langsung "dibina-sakan".

Mojokerto, 7 April 2010

Hasyim MAH

hasyimmah.wordpress.com

 

Silakan lanjut ke Seri 2.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun