Tumbuhnya pemikiran Islam liberal di Indonesia tidak bisa kita lepaskan dari kehadiran Jaringan Islam Liberal (JIL) yang diprakarsai oleh Ulil Abshar Abdalla. Tokoh ini seperti yang kita tahu sangat berani melontarkan hasil pemikirannya meski harus berhadapan dengan ulama-ulama konservatif yang juga tak jarang membahayakan keselamatan dirinya sendiri.
Saya, penulis tulisan ini, adalah orang yang termasuk mengagumi gaya berpikir liberal yang dibawa oleh Ulil. Saya setuju dengan semangat yang diusung semisal tentang membuka pintu ijtihad, pluralisme, membela minoritas, hingga menentang kekerasan yang berdasar pada keyakinan. Kekaguman ini tentu akhirnya membawa saya memantapkan hati untuk menyatakan bahwa saya adalah penganut Islam liberal.
Saya pun juga menjadi follower di Twitter-nya Ulil (@ulil) hampir setahun ini. Kedekatan sepihak sesuai hukum Twitter ini semakin hari semakin membuat saya menemukan ketidakcocokan dengan pemikiran Ulil. Celakanya, ketidakcocokan ini menyangkut definisi Islam liberal itu sendiri. Keraguan ini sempat membuat saya terombang-ambing dalam keraguan tentang posisi saya sendiri: saya ini termasuk Islam liberal atau bukan, ya? Di satu sisi saya sangat setuju dengan pemikiran yang melandasi JIL, namun di sisi lain rasanya tidak pantas jika mengaku liberal tapi tidak sependapat dengan pendiri JIL dalam hal mendefinisikan Islam liberal itu sendiri. Posisi saya yang bukan siapa-siapa tentu tidak sebanding dengan nama besar Ulil.
Sedikit Demi Sedikit
Ketidakcocokan pemikiran ini sudah pernah muncul sejak tahun lalu ketika salah satu admin Kompasiana yaitu Iskandar Zulkarnain, sempat berdebat dengan Ulil mengenai Qurban ketika momen Idul Adha tahun lalu. Saat itu Ulil berpendapat (saya tidak terlalu hapal secara detail) bahwa prosesi qurban seharusnya bisa dikonversi dalam bentuk lain misalnya berupa beasiswa kepada anak kurang mampu atau kegiatan sosial lainnya.
Saat itu, Iskandar tampak sekali mulai terpancing emosinya yang ditunjukkan dengan rasa gemas terhadap sudut pandang pemikiran Ulil. Di saat yang sama Ulil, seperti biasa, tampak landai setiap kali menghadapi perbedaan pendapat seperti ini.
Bagi saya pribadi, pendapat Ulil saat itu juga terlalu “keluar”. Meski begitu saya masih berusaha menerima pendapat itu sebagai pendapat Islam liberal.
Hal-hal kecil seperti ini secara tak sadar ternyata memunculkan sedikit demi sedikit ketidakcocokan pemikiran yang saya terima selama ini tentang Islam liberal dengan pemikiran yang dibawa Ulil.
Yang terakhir ini adalah twit Ulil pada tanggal 25 April 2011 mengenai nikah beda agama. Pada hari itu, Ulil menyatakan di Twitter: “Orang2 yg kawin beda-agama umumnya lebih dewasa, baik scr emosional/intelektual, sbb mereka hrs menghadapi banyak tantangan.”
Twit itu dilanjutkan dengan: “Many same-religion marriages ends in divorce. And many mix-marriages lasts in happiness. Religion is not the sole assurance of lasting one.”
Kedua twit itu spontan mendapat banyak sekali tanggapan baik yang pro maupun yang kontra. Namun, dari banyaknya tanggapan itu, Ulil memberikan kesimpulan dalam 4 kali twit yang jika disambung adalah sebagai berikut: “Setelah membaca beberapa tanggapan soal twit saya mengenai nikah beda agama, saya menarik beberapa kesimpulan sederhana. Pertama: banyak orang Islam yg belum siap dg beda pendapat. Perbedaan tafsir mudah dituduh sesatlah, merusak Islam lah. Kedua: teman2 non-Muslim lebih kelihatan dewasa, "cool", dan toleran dlm menanggapi soal nikah beda agama ini. Ketiga: bahkan beberapa tweep yg bio-nya seolah2 menunjukkan dia cukup terbuka gaya hidupnya, dlm soal agama konservatif.”
Pendapat Ulil di sini tampak sekali kurang pas ketika menilai sebuah pernikahan dan berpendapat bahwa nikah beda agama umumnya lebih dewasa dan seakan-akan tidak akan berakhir dengan perceraian. Ulil jelas berpendapat bahwa perceraian lebih banyak dialami oleh orang yang menikah dengan agama yang sama. Lalu di kesimpulannya pun, Ulil memberikan generalisasi berupa: teman-teman non-muslim lebih kelihatan dewasa.
Saya secara pribadi berpendapat bahwa pernikahan beda agama itu salah satu yang bisa kita diskusikan meski umat Islam konservatif menentang. Tapi saya tetap tidak setuju dengan cara Ulil menyampaikan pendapatnya yang secara “kurang kerjaan” malah menyakiti umat Islam lainnya.
Di satu sisi, Ulil yang dengan tenang menyalahkan orang yang emosi karena pendapatnya, namun di sisi lain, Ulil tampak sekali sengaja menyakiti perasaan orang lain. Mungkin Ulil sedikit lupa bahwa ketika kita harus menghargai pendapat orang lain, maka perbedaan pendapat yang termasuk harus kita hormati adalah pendapat orang “yang tidak bisa menerima perbedaan pendapat”.
Cari Gara-Gara
Dari berbagai pernyataan Ulil di Twitter (yang merefleksikan pendapatnya di dunia nyata juga), saya akhirnya saya mempunyai beberapa kesimpulan tentang Islam liberal yang dibawa Ulil:
- Kebebasan ijtihad yang diusung akhirnya lebih mengarah pada kemungkinan untuk menghilangkan ciri Islam secara total. Dalam hal ini, saya berpendapat bahwa sholat (ibadah paling dasar pada Islam) pun pada akhirnya bisa diusulkan untuk diubah secara teknis.
- Ulil seringkali meng-generalisasi perilaku umat beragama dan justru mendiskreditkan umat Islam. Ada perasaan bangga ketika memuji umat agama lain dan menyalahkan umat agama sendiri dan seakan-akan itu adalah tolok ukur liberalisme dan kedewasaan berpikir.
- Dalam menyampaikan pendapat barunya, saya lebih menganggap bahwa Ulil sengaja lebih memilih hal-hal yang itu banyak yang menentang (dari umat muslim sendiri). Kondisi ini bisa dibilang bahwa Ulil lebih suka mencari gara-gara daripada mengajak umat muslim yang belum liberal untuk bisa menerima pemikiran liberal.
Yang saya bingung tentang Ulil adalah apakah dia masih percaya sama figur Muhammad sebagai utusan Tuhan atau menganggap Muhammad hanya sebagai konseptor sebuah gaya hidup saja. Kebingungan saya ini sangat mendasar karena ini menyangkut suatu perintah dari Tuhan yang bersifat mutlak ataukah semua bisa kita ubah sesuai keinginan kita.
Saya percaya bahwa semua ibadah yang bersifat simbolik justru merupakan keputusan Tuhan yang disampaikan melalui Muhammad. Dan tentu saja ibadah-ibadah ini tidak bisa kita perdebatkan lagi selama kita percaya bahwa Muhammad itu utusan Tuhan. Sholat, ibadah haji, puasa, atau ibadah qurban adalah contoh-contoh ibadah tersebut.
Kita (setidaknya sampai kondisi bumi saat ini) tak perlu mempertanyakan apakah jumlah rokaat dan waktu sholat bisa diubah, apakah haji bisa dilaksanakan di luar Mekkah, apakah puasa bisa diubah waktunya, atau apakah qurban bisa digantikan dalam bentuk lain. Masih banyak hal yang secara prioritas lebih penting kita diskusikan daripada hal-hal yang hanya bisa membuat banyak orang marah.
Kesimpulan Akhir
Setelah dibalut keraguan apakah saya Islam liberal atau bukan, akhirnya saya memberanikan diri menyatakan bahwa saya menganut Islam liberal tapi bukan seperti yang disampaikan oleh Ulil Abshar Abdalla. Saya merasa yakin dengan standar liberal yang saya yakini sendiri tanpa harus seperti JIL. Jika bersikap keluar Islam, saya setuju dengan menjunjung tinggi kebebasan berkeyakinan, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan juga anti-kekerasan. Namun jika bersikap ke dalam Islam sendiri, saya lebih cocok untuk membuka wacana ijtihad dalah hal-hal yang memang sudah saatnya kita diskusikan, bukan hal-hal yang tidak perlu yang hanya akan membuat pemikiran liberal malah dijauhi.
Pemikiran Ulil yang terlalu terbuka seperti itu pada akhirnya justru menghambat penyebaran paham liberal itu sendiri. Kebanyakan orang Islam yang hati-hati mengenai masalah tauhid akhirnya malah antipati terhadap pemikiran liberal karena akan terjebak dalam hitam putih liberal dan non-liberal. Kebanyakan orang akan terjebak untuk memilih pemikiran konservatif atau pemikiran Ulil.
Saya yakin, orang Islam liberal yang sejauh Ulil (tingkat liberalnya), masih sangat sedikit dibanding umat Islam secara keseluruhan di Indonesia. Dan tentu lebih sedikit lagi orang yang menyatakan diri untuk tetap liberal namun tidak berada di bawah pemikiran Ulil. Di wilayah inilah saya sekarang menempatkan diri. Liberal tak harus menjadi Ulil.
Ulil, bagimu liberalmu, bagiku liberalku.
Mojokerto, 27 April 2011
Hasyim MAH
http://hasyimmah.wordpress.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H